Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri multifinance terbebani oleh kebijakan restrukturisasi kredit nasabah terdampak corona (Covid-19) dari pemerintah. Diperkirakan tiga bulan ke depan, perusahaan pembiayaan akan menelan kerugian hingga Rp 24,25 triliun.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan, kerugian tersebut berasal dari larangan eksekusi kendaraan jaminan yang membebani industri sebesar Rp 18,98 triliun. Sementara sisanya dari relaksasi atau penundaan pembayaran cicilan selama tiga bulan ke depan.
Baca Juga: Walau kinerja kuartal I membaik, BTPN Syariah prediksi selanjutnya bakal berat
“Piutang per Februari 2020 Rp 452 triliun sebanyak 70% merupakan pembiayaan kendaraan bermotor. Namun asumsi eksekusi kendaraan jaminan hanya mencapai 10% berarti ada potensi pemulihan kendaraan yang dieksekusi 60% atau Rp 18,98 triliun,” jelas Suwandi, Selasa (28/4).
Kondisi ini semakin terbebani karena sejumlah pemerintah daerah mengeluarkan larangan multifinance melakukan penagihan ke masyarakat seperti beberapa desa atau kelurahan di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat. Padahal eksekusi diperbolehkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada nasabah terkena kredit macet.
“Penolakan dari kepala daerah membuat sulit multifinance melakukan penagihan utang. Walaupun kami tahu ada nasabah yang memang baik atau sengaja tidak membayar kredit,” ungkapnya.
Sementara sisa kerugiannya sisanya, disebabkan pembebasan bunga selama tiga bulan bagi debitur motor Rp 2,27 triliun. Sedangkan pembebasan bunga dari debitur mobil menelan kerugian Rp 2,99 triliun. Artinya, total kerugian akibat relaksasi bunga kredit motor dan mobil mencapai Rp 5,26 triliun.
Baca Juga: Antisipasi arus kas seret, multifinance minta keringanan kredit dari bank
Nahasnya, potensi kerugian bisa melebihi Rp 24,25 triliun jika disajikan menjadi neraca atau laporan keuangan dalam satu periode akuntansi. Suwandi menyebut, potensi kerugian secara on dan of balance sheet pembiayaan mobil serta motor mencapai Rp 87,64 triliun.
Jika dirinci potensi kerugian pembiayaan mobil Rp 45,58 triliun, sementara kerugian pembiayaan motor Rp 42,06 triliun. Akibat potensi kerugian tersebut, arus kas multifinance menjadi terganggu karena tidak ada pembayaran ke konsumen sementara pelunasan pinjaman bank tetap berjalan tanpa adanya relaksasi.
“Untuk mendukung program pemerintah, perbankan yang memberikan pendanaan ke perusahaan pembiayaan diharapkan juga memberikan kelonggaran penurunan bunga guna menyamakan kondisi pembayaran langsung konsumen ke multifinance selama proses restrukturisasi berlangsung,” harapnya.
Untuk mengurangi potensi kerugian, asosiasi meminta dukungan berbagai pihak mulai dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), pemerintah, perbankan serta perusahaan asuransi kendaraan maupun asuransi kredit.
Baca Juga: Butuh dana segar, Boeing berpotensi terbitkan obligasi miliaran dolar
Hingga saat ini, APPI sedang memproses sertifikasi jaminan fidusia debitur ke Kumham agar bisa diperpanjang tanpa perlu lagi membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pihaknya juga tengah mendorong kehadiran regulasi perbankan yang mengatur soal keringanan kredit bagi debitur seperti multifinance. Diharapkan bank tetap memberikan pinjaman ke perusahaan pembiayaan.
Asosiasi meminta pemerintah memberikan edukasi ke masyarakat bahwa tidak semua mendapatkan keringanan kredit selama setahun. Selain itu juga, meminta debitur berpenghasilan tetap wajib melunasi kredit sesuai kesepakatan berlaku serta proses eksekusi bisa tetap berjalan sesuai aturan berlaku.
“Perlu adanya kerja sama antara perusahaan asuransi untuk memberikan perpanjangan biaya polis seringan-ringannya agar debitur tidak semakin terbebani,” pungkasnya.
Baca Juga: Terdampak virus corona, Jokowi juga minta bantuan modal bagi 23 juta UMKM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News