Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa analis memproyeksi pada tahun depan akan ada risiko terkait likuiditas perbankan. Hal ini disebabkan lantaran, pertumbuhan kredit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
Sampai kuartal III-2018, pertumbuhan kredit perbankan sebesar 12,4% secara tahunan atau year on year (yoy). Sedangkan pertumbuhan DPK sebesar 6,5% secara yoy.
Pengamat perbankan Benny Purnomo mengatakan, risiko likuiditas diperkirakan akan membuat bank kecil terutama bank BUKU II dan BUKU I melakukan perang suku bunga deposito.
“Bank BUKU I dan BUKU II diperkirakan akan jor-joran dalam menaikkan bunga deposito agar bisa bersaing memperebutkan deposito dengan bank besar,” kata Benny kepada kontan.co.id, Rabu (28/11).
Jor-jorannya bank kecil untuk melakukan perang deposito ini dilakukan dengan menawarkan bunga deposito special rate ke nasabah. Bunga special rate ini diharapkan akan menarik deposan kembali ke bank kecil.
Adrian Panggabean, Kepala Ekonom CIMB Niaga dalam acara diskusi bersama chief economist CIMB Niaga, Rabu (28/11) mengatakan terkait risiko likuiditas ini, Bank Indonesia (BI) sebenarnya telah melakukan relaksasi.
Seperti diketahui, pada pertengahan November 2018 lalu, BI telah merelaksasi giro wajib minimum (GWM) dan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM). Giro Wajib Minimum (GWM) rerata atau GWM averaging dari semula 2% menjadi 3% dari dana pihak ketiga (DPK).
Untuk PLM BI juga mengerek rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) menjadi 4%. Artinya, bank dapat menggunakan seluruh PLM yang totalnya 4% sebagai underlying untuk melakukan repo ke BI.
“Dengan relaksasi GWM ini diharakan miss match likuiditas harian ini bisa teratasi,” kata Adrian, Rabu (18/11).
Selain itu, Adrian menambahkan terkait likuiditas ini bank bisa mengantisipasi dengan menerbitkan obligasi subordinasi dan NCD.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News