Reporter: Rezha Hadyan | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nasabah bandel menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan pinjaman berbasis teknologi atau fintech peer to peer (P2P) lending legal di tanah air. Perusahaan legal yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tentu dilarang untuk melakukan praktik penagihan tidak manusiawi seperti yang dilakukan oleh perusahaan fintech P2P lending ilegal. Sebagai gantinya, mereka memilih untuk bekerjasama industri keuangan lain.
Ketua Bidang Pembiayaan Multiguna Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Dino Martin menyebut pihaknya akan menggandeng industri perbankan dan multifinance untuk menangani nasabah bandel yang lari dari kewajiban membayar utangnya. “Jadi kalau memang mereka masih begitu juga ya namanya kita blacklist atau masuk daftar hitam yang nanti akan dishare ke perbankan nasional dan multifinance, kalau memang niatnya jelek tidak mau bayar ya kita tidak usah pakai marah-marah atau nagih-nagih,” kata Dino kepada Kontan.co.id Senin (26/11).
Apabila telah masuk ke dalam ke dalam daftar hitam tersebut, nasabah yang bersangkutan tidak bisa melakukan sejumlah aktivitas keuangan seperti mengajukan kredit hingga membuka rekening tabungan sampai ia melunasi kewajibannya.
“Tujuannya kami ini sebenarnya ingin mengedukasi agar masyarakat bisa melakukan pola hidup yang baik dan cermat dan caranya seperti ini,” kata Dino.
Seperti diketahui, banyak masyarakat Indonesia yang terjebak oleh utang di sejumlah lembaga keuangan akibat sifat konsumtif. Tak jarang diantaranya meminjam dana dari satu lembaga keuangan untuk melunasi utangnya di lembaga keuangan lain atau dikenal dengan istilah gali lubang tutup lubang.
Perusahaan fintech P2P lending legal tidak serta merta akan memasukkan nasabah ke daftar hitam. Perusahaan tersebut tetap akan melakukan penagihan terlebih dahulu. Namun, proses penagihan tersebut dilakukan berdasarkan code of conduct atau kode etik yang disusun berdasarkan aturan OJK.
Dino menjamin 73 anggota AFPI tidak akan melakukan penagihan seperti perusahaan fintech P2P lending ilegal yang selama ini dikeluhkan masyarakat. “Jadi misalnya penagihan dengan nada mengancam, penagihan yang sifatnya melecehkan, penagihan yang mengintimidasi, menggunakan kata - kata kasar, mengaku sebagai pejabat, anggota lembaga negara atau aparat keamanan, menyebarkan informasi kepada orang lain itu juga tidak boleh, termasuk melakukan penagihan ke orang ketiga,” jelas dia.
Terkait dengan bunga pinjaman yang juga dikeluhkan oleh masyarakat, Dino menjelaskan seluruh anggota AFPI tidak diperbolehkan memberikan beban biaya tambahan melebihi 100% dari nilai pokok atau prinsipal. Selain itu, waktu penagihan akan terhenti pada hari ke-90 dari tanggal jatuh tempo pembayaran.
Artinya, ketika nasabah tidak bisa mengembalikan pinjaman sampai 90 hari setelah tanggal jatuh tempo, maka besaran beban biaya tambahannya otomatis terhenti.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi meminta OJK untuk segera menentukan presentase bunga dan denda harian dari fintech P2P lending. “Tanpa adanya aturan main dari OJK, selama ini bunga dan denda fintech P2P lending ugal-ugalan dan hal ini tentu merugikan konsumen atau nasabah,” kata dia.
Terkait dengan cara penagihan perusahaan fintech P2P lending seharusnya merujuk pada aturan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia maupun OJK. Namun, kembali lagi kepada kebijakan masing-masing perusahaan. “Tetapi fintech P2P lending tidak mungkin mengirim debt collector, saya pernah diskusi dengan mereka,” ungkap Tulus.
YLKI hingga November 2018 mengaku telah mendapat aduan terkait fintech P2P lending lebih dari 200 laporan. Laporan tersebut rata-rata mengenai tingginya suku bunga hingga cara penagihan utang yang tidak manusiawi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News