Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Sejumlah bankir mengaku pihanya memilih menempatkan dana di obligasi lantaran masih lemahnya permintaan kredit. Selain itu, masih tingginya risiko kredit juga menjadi pertimbangan.
Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mengatakan, pada awal tahun ini, tren permintaan kredit masih lemah. “Hal ini menyebabkan kami banyak membeli SBN (surat berharga negara),” ujar Jahja, Selasa (28/3).
Parwati Surjaudaja, Direktur Utama PT Bank OCBC NISP menyatakan alasan serupa. Selain itu, menurutnya, penempatan dana di surat berharga ini juga untuk menjaga likuiditas.
“Ini untuk antisipasi pada akhir kuartal, biasanya nasabah banyak yang menarik dana antara lain untuk pembayaran pajak dan dividen,” ujar Parwati.
Iman Nugroho Soeko, Direktur Keuangan dan Treasury PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) mengakui, surat berharga merupakan salah satu instrumen pengelolaan likuiditas.
Adapun, instrumen surat berharga yang dipilih bankir agak beragam. Namun yang paling banyak adalah jenis obligasi. Glen Glenardi, Direktur Utama PT Bank Bukopin mengatakan mayoritas penempatan dana bank di SBN (surat berharga negara) dan SBSN (surat berharga negara syariah).
Sementara, OCBC NISP mayoritas menempatkan dananya di SBI (sertifikat bank Indonesia) dan SUN (surat utang negara) jangka pendek. Sedangkan BTN memilih SUN untuk penempatan dananya.
Menurut BCA, tren penempatan dana disurat berharga ini tidak akan seterusnya dilakukan bank. Hal ini karena jika permintaan kredit tinggi bank akan mengalihkan dananya ke penyaluran kredit. Pertimbangan yang diambil bankir diantaranya adalah bunga yang lebih besar dan kondisi likuiditas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News