kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,87   -4,49   -0.48%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bank Indonesia rajin suntik likuiditas ke perbankan, buat apa?


Selasa, 14 April 2020 / 19:46 WIB
Bank Indonesia rajin suntik likuiditas ke perbankan, buat apa?
ILUSTRASI. Nasabah bertransaksi di Bank CIMB Niaga Jakarta.


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Stabilitas likuiditas perbankan nampaknya menjadi salah satu sorotan pemangku kebijakan untuk menjaga sistem keuangan di Tanah Air. Kendati sampai dengan Februari 2020 ketahanan perbankan masih dipandang kuat, Bank Indonesia tetap mengeluarkan sederet bauran kebijakan agar likuiditas tetap terjaga.

Yang terbaru, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 13 April-14 April 2020 bank sentral memutuskan untuk kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah masing-masing sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dan 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS). Pelonggaran ini akan mulai berlaku pada 1 Mei 2020.

Baca Juga: Penguatan rupiah terhenti setelah BI menahan suku bunga acuan

BI juga memutuskan untuk tidak mewajibkan tambahan giro untuk pemenuhan rasio intermediasi (RIM) baik untuk BUK, BUS maupun UUS per 1 Mei 2020 yang berlaku selama satu tahun. Lewat dua pelonggaran kebijakan ini, menurut hitung-hitungan BI bisa menambah likuiditas perbankan sekitar Rp 117,8 triliun.

Sebelumnya, BI juga telah telah melakukan injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan hampir Rp300 triliun. Injeksi likuiditas dilakukan melalui berbagai kebijakan, seperti pembelian SBN dari pasar sekunder sebesar Rp 166 triliun, penyediaan likuiditas kepada perbankan lebih dari Rp 56 triliun melalui mekanisme term-repo dengan underlying SBN yang dimiliki perbankan, penurunan kembali GWM rupiah sebesar 50 bps yang berlaku efektif 1 April 2020, yang menambah likuiditas sekitar Rp 22 triliun.

Di luar itu, penurunan GWM rupiah pada 2019 dan awal 2020 juga telah menambah likuiditas sekitar Rp 53 triliun, serta penurunan GWM valas sebesar 4% untuk menambah likuiditas valas perbankan sekitar US$ 3,2 miliar. 

"Respons kebijakan ini kemudian dapat menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan tetap memadai, tercermin pada rerata harian volume PUAB Maret 2020 yang tetap tinggi sebesar Rp 12,8 triliun serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 22,81% pada Februari 2020," terang Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Video Conference di Jakarta, Selasa (14/4).

Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro menilai keputusan BI tersebut sudah sesuai dengan ekspektasi dan keinginan pasar. Menurutnya, bank saat ini memang membutuhkan dukungan untuk menjaga likuiditas di sistem perbankan terutama untuk jangka pendek dan menengah. 

"Kebijakan makroprudensial BI dengan memangkas GWM sebesar 200 bps sangat tepat sebagai dukungan lanjutan yang dibutuhkan industri perbankan untuk mengoptimalkan hasil relaksasi di sektor riil," terangnya kepada Kontan.co.id, Selasa (14/4).

Sebelumnya, Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk Pandji P. Djajanegara menilai bahwa likuiditas memang menjadi patokan penting agar perbankan bisa tetap berkerja maksimal. Bak darah dalam tubuh manusia, likuiditas dibutuhkan perbankan untuk memenuhi kebutuhan permintaan dana dari nasabah maupun debitur.




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×