Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
Wimboh menjelaskan sejatinya skema penyangga likuiditas via bank jangkar ini lumrah terjadi pada pasar uang antar bank (PUAB), nah calon-calon bank jangkar ini juga pemasok likuditas dalam PUAB.
“Intinya ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan bank jangkar, pertama likuiditas yang digunakan sudah disediakan pemerintah, kemudian dananya dijamin LPS, dan mereka bisa mendapatkan marjin,” sambung Wimboh.
Baca Juga: Ini tiga risiko yang menanti perbankan, bila penyebaran virus corona terus berlanjut
Meski demikian masih terdapat cela terhadap skema ini. Misalnya adanya potensi persaingan tidak sehat. Alasannya bank peserta bisa mendapatkan rate yang lebih rendah dibandingkan bank pelaksana.
Hal ini sejatinya sempat dikeluhkan sejumlah bank menengah yang berpotensi tak dapat menjadi bank peserta. “Akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Jika kemudian yang dipilih menjadi bank jangkar hanya bank baik, apa bank yang lain buruk, dikotomi seperti ini juga bisa menimbulkan salah persepsi di pasar,” kata Direktur Utama PT Bank Mayapada Tbk (MAYA) Hariyono Tjahrijadi kepada Kontan.co.id.
Sementara Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) Parwati Surjaudaja menilai saat ini sejumlah stimulus likuiditas dari Bank Indonesia sejatinya sudah cukup bagi perbankan. Lagipula konsep bank jangkar ini sejatinya bakal sulit dilaksanakan.
Merujuk PP 23/2020, ada tiga kriteria yang ditetapkan untuk menjadi bank jangkar. Pertama keuangan bank mesti sehat, pemegang saham pengendali 51% berasal dari Indonesia, dan termasuk dalam 15 bank beraset terbesar.
Baca Juga: Catat, ini skema restrukturisasi kredit di Bank BRI selama masa pandemi
Adapun dari penelusuran Kontan.co.id, dari 15 bank dengan aset terbesar, calon kuat cuma berasal dari empat bank Himbara (Himpunan Bank Negara), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). kriteria terkait batas kepemilikan lokal maksimum 51% jadi kendala utama bank lainnya.