Reporter: Andri Indradie | Editor: Test Test
JAKARTA. Kalangan bankir menilai tingginya tingkat kredit yang belum tersalurkan (undisbursed loan) masih wajar. Hambatan di tataran teknis menjadi masalah klasik yang membuat kredit mubazir meningkat.
Sekadar informasi, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, per April 2010 nilai kredit mubazir mencapai Rp 474,23 triliun, melejit 76,39% dari periode yang sama tahun lalu.
Wakil Dirut PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Evi Firmansyah bilang, tingginya undisbursed loan karena korporasi belum menggunakan fasilitas kredit yang diberikan bank. Biasanya terjadi di sektor infrastruktur yang memilih mencairkan kredit bertahap.
Soalnya, mereka harus menyelesaikan pembebasan lahan, tarif, jaringan, hingga pengadaan pembangkit listrik sebelum memulai proyek. "Juga sektor ekspor karena ekonomi Eropa dan Amerika Serikat belum pulih benar," ujar Evi kepada KONTAN, Jumat (25/6).
Kadang, jelas Evi, bank sengaja mengikat calon debiturnya agar tidak ke bank lain. Caranya, bank langsung memberi komitmen kredit lebih dulu ketimbang kebutuhan debitur.
Wakil Direktur Utama Bank Jasa Jakarta Lisawati sepakat dengan Evi soal pengaruh proyek infrastruktur yang belum terealisasi ke kenaikan undisbursed loan. "Itu wajar dan tidak ada masalah," ungkapnya.
Apalagi, urai dia, saat ini bank-bank sudah menurunkan tingkat bunga kredit mereka. Alhasil, permintaan kredit pun ikut meningkat. "Karena kredit naik, otomatis undisbursed loan ikut naik," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News