Sumber: KONTAN | Editor: Dikky Setiawan
Jakarta. Rencana Bank Indonesia memperketat aturan manajemen risiko pada 2010 membuat gelisah para bankir. Menurut mereka, aturan itu akan membatasi ruang gerak perbankan dalam menyalurkan kredit.
"Jika aturannya terlalu rigid maka akan menyulitkan perbankan dalam berekspansi. Fungsi intermediasi bank bisa terhambat," ungkap Direktur Utama BRI, Sofyan Basir, di Jakarta, kemarin (21/10).
Dalam menyusun aturan baru itu, kata Sofyan, BI memang punya maksud baik. Yakni bagaimana meningkatkan daya tahan perbankan dalam menghadapi terjangan krisis. Aturan tersebut juga merupakan bagian dari kesepakatan negara anggota Forum G-20.
Namun Sofyan mengingatkan, BI juga harus mempertimbangkan karakteristik industri perbankan di tanah air. "Di sini, perbankan juga dituntut untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi, sebab pembangunan di negeri ini masih bertumpu pada pembiayaan bank," tutur Sofyan.
Maksud Sofyan, kebijakan yang berlaku di negara lain tidak serta merta bisa diterapkan di sini. Ia pun membandingkan kondisi perbankan di tanah air dengan perbankan di luar negeri yang sistem ekonominya relatif lebih stabil. "Bank di sana lebih banyak bermain di sektor konsumsi. Sedang pengusaha sektor riil tidak bergantung ke bank sepenuhnya," terangnya.
Sedangkan sektor riil di Indonesia masih sangat mengandalkan pembiayaan dari bank. Jika perhatian perbankan lebih fokus ke memenuhi aturan yang rigid, bukan tidak mungkin agenda penyaluran kredit ke sektor riil menjadi terbengkalai.
Dalam situasi saat ini saja, kredit bank berjalan lambat karena bankir masih sibuk mempersiapkan pemenuhan berbagai aturan baru, seperti aturan giro wajib minimum (GWM).
BI berencana mengetatkan aturan modal dan provisi perbankan sesuai dengan kesepakatan G-20 (Lihat KONTAN 21-10-2009). Untuk modal misalnya, BI akan mewajibkan bank yang memiliki risiko lebih besar untuk menambah modal. Sedangkan untuk aturan provisi alias pencadangan, BI akan mewajibkan bank memperbesar provisi bagi kredit-kredit dengan potensi macet yang tinggi.
Beleid baru ini akan melengkapi aturan mengenai kewajiban penerapan manajemen risiko likuiditas di tiap bank, yang sudah diterbitkan BI tahun ini.
Direktur Retail Bank Mega, Kostaman Thayib, menuturkan, calon aturan baru itu akan memberatkan, "Dan bank pasti lebih memilih berkonsentrasi ke sana." Bank yang saat ini memiliki modal cekak, sudah pasti akan terbatas ekspansinya.
Untuk itu, bankir berharap BI bisa lebih bijak melihat kondisi perbankan secara utuh. Kalaupun aturan itu tetap terbit, bankir minta keringanan. "Terkait kesepakatan G20, tentunya kami minta dispensasi. Harus ada pengecualian," kata Sofyan.
Misalnya, aturan pemberian kredit untuk pelaku usaha kecil. Jika menuruti ketatnya aturan pemberian kredit sesuai standar negara maju, "Bisa-bisa tidak ada bank yang berani membiayai usaha kecil dan menengah (UKM). BI pasti sudah antisipasi masalah ini," kata Sofyan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Muliaman Dharmansyah Hadad, menuturkan, pengetatan aturan modal dan provisi tersebut masih dalam proses pembahasan. "Belum ada detailnya, masih dibahas. Kami juga masih harus melihat inisiatif G20," katanya, Rabu (21/10).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News