kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Bankir protes ada premi restrukturisasi perbankan


Jumat, 26 Mei 2017 / 15:37 WIB
Bankir protes ada premi restrukturisasi perbankan


Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Rencana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengusulkan premi restrukturisasi perbankan sebesar 2%-3% dari produk domestik bruto (PDB) bakal berat. Industri perbankan keberatan dengan rencana itu.

Pasalnya, tambahan premi akan menambah peningkatan biaya operasional atau overhead cost perbankan. Apalagi tambahan premi juga tak sedikit. Dengan PDB tahun 2016 senilai Rp12.406 triliun, premi 2%-3% berkisar Rp248,12 triliun-Rp 372,18 triliun.

Menurut para bankir tambahan premi akan berat. Apalagi, bank saat ini harus menyetor premi ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta iuran ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika ditambah dengan premi restrukturisasi bank akan bertambah lagi jenis iuran yang harus ditanggung bank.

Apalagi, kata mereka, implementasi premi restrukturisasi bank tak mendesak. Profil risiko perbankan cukup rendah. Menurut mereka, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio CAR) perbankan Indonesia masih cukup tinggi yaitu di atas 20% (lihat tabel).

Selain itu, Saat ini perbankan kita ada empat mekanisme pertahanan terhadap krisis (sehingga kondisinya cukup kuat), ujar Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri, Rabu (25/5).

Setali tiga uang, Taswin Zakaria, Direktur Utama Maybank Indonesia menilai, konsep premi restrukturisasi belum mendesak. Karena risiko sistemik perbankan belum meningkat. Kecuali menurut LPS saat ini ada peningkatkan risiko industri, ujar Taswin.Kata dia, saat ini pungutan OJK dan LPS sudah cukup memadai untuk menangani risiko industri keuangan.

Saat ini, ada sejumlah mekanisme untuk mengantisipasi guncangan pada perbankan. Selain kewajiban mininum CAR, Bank Indonesia (BI) mewajibkan adanya countercyclical buffer.

Ini merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Besarannya berkisar antara 0%-2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).

BI mengevaluasi besaran countercyclical buffer secara berkala dalam tempo satu kali dalam enam bulan. Lalu, ada iuran LPS yang saat ini sudah mencapai Rp 60 triliun sampai Rp 70 triliun. Ada pula komitmen pemilik bank untuk melakukan bail-in jika terjadi kegagalan.

Dengan empat mekanisme pertahanan tersebut, menurut Kartika, cukup memadai untuk menutup risiko kegagalan bank. Saran dia, dengan adanya pengawasan terintegrasi, sebaiknya konglomerasi bank hanya wajib membayar satu premi yakni kepada OJK.

Sebab, konglomerasi bank harus mengeluarkan premi OJK untuk masing masing anak usaha di beberapa bidang. Misal anak usaha di perbankan, asuransi, manajemen aset dan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×