Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Isu penggabungan dua bank BUMN kembali menghangat. Wacana merger dua bank pelat merah ini kembali bergulir setelah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil dan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro melempar kembali isu merger BNI-Mandiri.
Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia (AEEI), Haryajid Ramelan mengungkapkan, rencana penggabungan PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri) dengan PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk, kemungkinan tidak dapat dengan mudah diterapkan dan butuh waktu yang panjang.
Sebab, kedua perusahaan tersebut telah sama-sama berstatus sebagai perseroan terbuka (Tbk). Dimana, ada pemegang saham lain, meski minimal, selain pemerintah yang berperan sebagai pemegang saham pengendali. Selain itu, kedua perusahaan plat merah tersebut memiliki kultur yang berbeda, sehingga sangat sulit digabungkan.
"Saya rasa tidak mudah. Bank Mandiri yang merupakan hasil merger pun, belum jadi pemain utama Asean," kata Haryajid saat diskusi bertajuk Emiten Bicara Industri (EBI) yang mengambil tema 'Melirik Konsekuensi Merger Dua Perusahaan Terbuka' di Jakarta, Rabu (18/2).
Karena itu, Haryajid menyarankan, dari pada melakukan merger, ada baiknya kedua pihak menguatkan basis sumber daya manusia (SDM) untuk dapat bersaing di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Oleh karena itu, usaha merger ada baiknya tidak perlu dipaksakan.
"Merger tidak bisa dipaksakan. MEA tidak perlu menjadi hal yang menakutkan, karena negara lain mungkin juga memiliki rasa takut yang sama dalam menghadapi MEA," ucapnya.
Senada, Pakar Hukum Pasar Modal, Indra Safitri menuturkan, tidak mudah menyatukan dua perusahaan besar seperti BNI dan Bank Mandiri. Terlebih, ada peraturan yang menyebutkan pemegang saham independen juga menentukan dalam usaha merger.
Artinya, meski kewenangan ada di pemerintah dalam usaha merger karena merupakan pemegang saham mayoritas, namun suara dari pemegang saham publik juga harus diperhatikan. Di sini, pemegang saham publik dapat menyuarakan persetujuan ataupun ketidaksetujuannya terkait rencana merger ini.
Karena itu, sebagai pemegang saham mayoritas di kedua instansi tersebut, maka pemerintah selaku pemegang saham pengendali, memiliki risiko benturan kepentingan. Aturan mengenai hal ini ada dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Kalau wacana ini ditentang oleh pemegang saham independen, maka tidak akan bisa terjadi," jelas Indra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News