Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peta jalan perbankan dalam mendorong penyaluran kredit keberlanjutan tak semudah membalikkan telapak tangan. Keberhasilan bank dalam mendongkrak kredit berkelanjtuan beberapa tahun terakhir dirasakan hanya sebagian kecil dari beberapa pelaku perbankan.
Hal tersebut juga terungkap dalam hasil Survei Orientasi Bisnis Perbankan OJK (SBPO) di triwulan II-2024. Survei tersebut menyebutkan ada kondisi kurangnya pemahaman dan kesadaran Bank terkait konsep ekonomi hijau dan transisi serta manfaatnya dalam jangka panjang, selain terbatasnya permintaan atas pembiayaan hijau.
Baca Juga: Tawarkan KPR Hijau, Bank Mandiri Tebar Promo Suku Bunga Super Spesial
Kondisi tersebut pun akhirnya turut menimbulkan efek domino permasalah yang menyebabkan penyaluran kredit ke sektor tersebut tak tumbuh secara maksimal. Salah satu kendala yang akhirnya muncul adalah potensi tambahan biaya dalam penentuan sektor pembiayaan hijau karena menggunakan pihak eksternal.
Dalam hasil survei tersebut, perbankan juga menilai belum ada insentif yang cukup dari pemerintah atau regulator untuk mendukung perkembangan ekonomi hijau baik bagi perbankan ataupun debitur.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae tak menampik bahwa industri perbankan mungkin menghadapi beberapa tantangan, terlebih dalam menyalurkan kredit ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
Baca Juga: Mengintip Strategi KB Bank Menerapkan Prinsip ESG
Ia melihat data yang dimiliki industri perbankan terkait EBT saat ini masih terbatas dan belum memiliki banyak pengalaman dalam menilai risiko kredit yang terkait dengan proyek EBT. Di mana, investasi dalam proyek EBT seringkali melibatkan risiko yang lebih tinggi daripada proyek-proyek konvensional.
“Energi terbarukan sangat terkait dengan fluktuasi pasar dan harga energi yang dapat berdampak pada kemampuan peminjam untuk membayar kembali pinjaman,” ujar Dian kepada Kontan.co.id, Sabtu (1/6).
Hanya saja, Dian optimistis bahwa secara perlahan penyaluran kredit ke segmen tersebut bisa meningkat. Ini sejalan dengan upaya OJK melalui penyelenggaraan capacity building untuk
peningkatan pemahaman perbankan tentang risiko pembiayaan pada proyek EBT.
Tak hanya itu, ia melihat bahwa dari tahun ke tahun, portofolio kredit keberlanjutan juga sudah mengalami peningkatan. Ia mengambil contoh pada tahun 2019, kredit keberlanjutan industri perbanak sebesar Rp 927 triliun dan tumbuh menjadi Rp1.571 triliun pada tahun 2022.
Baca Juga: Hingga Maret, Bank Mandiri Salurkan Kredit Rp 26,17 Triliun ke Sektor Smelter Logam
Jika melihat data pada periode tahun 2022, besaran portofolio kredit keberlanjutan tersebut hanya didominasi oleh lima bank dengan kontribusi mencapai 85% atau sekitar Rp 1.341 triliun. Lima bank tersebut antara lain, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan membenarkan bahwa untuk menyalurkan kredit hijau memang harus mengeluarkan biaya yang relatif lebih tinggi. Terlebih, untuk perusahaan-perusahaan besar karenan sehubungan dengan sertifikasi dan sebagainya.
Hanya saja, Lani bilang bahwa saat ini pihaknya tetap berupaya untuk terus menambah portofolio kredit hijau yang dimiliki. Ia menyebutkan saat ini kontribusi kredit hijau di CIMB Niaga telah mencapai 25% dari total portofolio kredit.
“Insentif masih dibutuhkan untuk dapat mendorong pelaku usaha dan juga bank, misalnya pajak, penghitungan pencadangan, GWM,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News