Reporter: Roy Franedya | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) kembali menebar rasa percaya diri terhadap kondisi perbankan di saat krisis. Berdasarkan stress test yang dilakukan bank sentral ini, dalam kondisi Amerika Serikat (AS) dan Eropa mengalami gagal bayar utang sekalipun, hanya ada beberapa bank yang harus menambah modal.
Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan, Halim Alamsyah mengatakan, kondisi ini akan dialami oleh bank yang terafiliasi dengan pihak luar negeri. "Kondisi ini sulit dibayangkan. Pasti akan dialami oleh perbankan di seluruh dunia, karena sistem perbankan tidak bisa berfungsi," ujar Halim.
Menilik dari sisi modal, guncangan di Eropa tidak berpengaruh besar pada keuangan Indonesia secara keseluruhan. Hingga Agustus rata-rata rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) bank berada di level 17,9% dan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) 2,8%.
BI melakukan dua skenario stress test. Yakni, dari sisi risiko kredit saat produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun drastis dan surat berharga mengalami gagal bayar. "Dalam skenario terburuk, katakan PDB Indonesia 0%, belum ada bank yang karena krisis di AS dan Eropa, CAR turun di bawah 8%," tambah Halim.
BI mencatat, kontribusi perbankan nasional ke kawasan Amerika dan Eropa hanya sekitar 3,13% dari total aset perbankan yang mencapai Rp 3.216,8 triliun Juli lalu. Peneliti Utama Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Suhaedi mengatakan, CAR perbankan cukup tahan. Jika terjadi 100% default total exposure luar negeri, CAR perbankan cuma turun sedikit dan tetap di atas 16%.
Menambal kredit macet
Pengamat perbankan Aviliani mengatakan, pemegang saham harus melakukan penambahan modal terus menerus. Pasalnya, penyaluran kredit akan menggerus CAR.
Apalagi dalam kondisi krisis, perlu menambah modal karena kredit macet membutuhkan pencadangan, yang diambil dari modal. Kalau modal tidak bertambah, CAR bisa turun di bawah 8%. "Kalau modal terus turun banyak bank akan kolaps," ujar Aviliani.
Halim menambahkan, hingga kini posisi likuiditas valuta asing (valas) masih cukup baik, walaupun dalam dua tahun terakhir pertumbuhan kredit valas cukup cepat. "Tetapi ini hanya konsekuensi logis dari kegiatan ekonomi yang semakin tinggi dan membutuhkan banyak pembiayaan dari valas," terangnya.
Menurut dia, ketatnya likuiditas valas tidak akan mengganggu perbankan. Maklum, penyaluran kredit valas perbankan masih lebih kecil daripada kredit rupiah.
Hingga Agustus 2011, penyaluran kredit valas baru perbankan mencapai Rp 53,3 triliun, sementara kredit baru rupiah mencapai Rp 212 triliun. Fakta ini bisa dilihat bahwa kebutuhan kredit valas tidak terlalu besar. Pasokan valas juga masih relatif cukup. "Memang kemarin ketika ada capital outflow beberapa bank cenderung menahan valas mereka. Tetapi sepekan terakhir situasi sudah lebih stabil," terang Halim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News