kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini Peta Persaingan Perbankan di Tengah Makin Kuatnya Cengkraman Investor Asing


Minggu, 23 Januari 2022 / 20:37 WIB
Begini Peta Persaingan Perbankan di Tengah Makin Kuatnya Cengkraman Investor Asing
ILUSTRASI. ilustrasi merger akuisisi ambil alih


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Cengkeraman investor asing di industri perbankan di Tanah Air semakin kuat. Aturan konsolidasi perbankan yang mengharuskan bank punya modal inti minimal Rp 3 triliun pada akhir 2022 kian mendorong masuknya asing mencaplok bank-bank lokal. 

Yang terbaru, dua investor asal Singapura yakni Singtel Alpha Investment dan Grab Holding Limited, masuk mengakuisisi PT Bank Fama Internasional. Masing-masing mengambilalih 16,26% saham bank tersebut senilai Rp 1 triliun. 

Keduanya akan bergabung dengan Emtek Group untuk mengembangkan Bank Fama menjadi bank digital. Setelah kehadiran dua investor tersebut, Emtek tetap menjadi pengendali bank ini namun porsinya berkurang jadi 62,76%.

"Bank Fama telah memenuhi persyaratan modal minimum sesuai aturan OJK dengan dukungan investasi oleh masing-masing Grab dan Singtel. Para pemegang saham berkomitmen untuk membantu Bank Fama memenuhi persyaratan permodalan sebesar Rp 3 triliun pada Desember 2022," kata Sutanto Hartono Managing Director Emtek kepada KONTAN, Jumat (21/1).

Dia mengatakan, para pemegang saham berkomitmen menambah modal Bank Fama hingga memenuhi ketentunan OJK.  Adapun per September 2021, modal inti Bank Fama baru tercatat sebesar Rp 1,03 triliun. Dengan masuknya dua investor baru maka modal intinya mencapai Rp 2,03 triliun.

Baca Juga: Ini Rencana Pengembangan Bank Fama di Tangan Emtek, Singtel dan Grab

Bank Fama akan memperluas bisnisnya dengan memanfaatkan modal sebagi investasi dan  memanfaatkan ekosistem digital para pemegang sahamnya. 

"Namun, Bank Fama terbuka terhadap potensi kerjasama dengan mitra yang memiliki keahlian di bidang usaha untuk menciptakan kemitraan yang strategis dan saling menguntungkan," kata Sutanto.

Dengan kehadiran investor baru itu, Bank Fama selanjutnya akan meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia dan kapabilitas teknologi untuk mengembangkan berbagai produk dan solusi perbankan digital yang mampu memberikan layanan yang bermanfaat dan aman bagi pengguna. 

Seperti diketahui, kolaborasi Grab-Singtel telah mendapat lisensi membangun bank fully digital di Singapura pada 2020 dan di Malaysia pada pada Juli 2021.

Sebelumnya, investor asal Hong Kong, WeLab Limited, juga mencaplok 24% Bank Jasa Jakarta (BJJ). Perusahaan milik milliader Li Ka-Shing ini sedang dalam proses untuk jadi pengendali di bank tersebut. Bank ini arahnya bakal disulap jadi bank digital.

WeLab disebut telah mengumpulkan dana sebesar US$ 240 juta atau sekitar op 3,46 triliun dari investor eksisting dan investor baru untuk mendanai akuisisi tersebut. 

Berdasarkan data OJK, jumlah bank di Indonesia per 13 Januari 2022 tercatat 107 bank. Delapan diantaranya kantor cabang bank asing, 27 BPD, 4 Bank BUMN,  dan 68 bank swasta nasional. Dari penelusuran KONTAN, 31 bank dari jumlah bank swasta tersebut sudah dimiliki oleh investor asing.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan melihat persaingan semakin menarik antara bank besar yang sudah eksisting menguasai pasar dengan bank-bank kecil yang didukung oleh permodalan dan teknologi dari investor asing. 

Menurutnya, bank yang akan unggul tentu adalah mereka yang dapat kepercayaan masyarakat lebih besar. "Dalam jangka pendek, kepercayaan itu masih akan dikuasai bank-bank besar. Namun, untuk pangsa pasar millienial diantara keduanya akan bersaing," kata Trioksa, Minggu (23/1).

Dia melihat tantangan perbankan ke depan adalah bagaimana memenangkan kepercayaan masyarakat. Namun, dia melihat bank yang dimiliki investor asing memiliki keunggulan dari sisi modal dan teknologi.

Sementara Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, memandang bahwa persaingan bank sekarang sudah masuk era baru, yakni era digital. 

Pemenang dari persaingan di era non digital adalah bank-bank BUKU IV. Namun menurut Piter, mereka bisa saja tersingkir di era digital ini apabila tidak segera mempersiapkan diri.

Baca Juga: Investor-Investor Singapura Kian Getol Masuk Bisnis Perbankan Indonesia

"Menyadari era baru persaingan perbankan ini, banyak investor baru yang masuk termasuk asing. Mereka mencoba memasuki persaingan dengan menggunakan bank-bank kecil yang akan dikembangkan sebagai bank digital. Karena ini persaingan baru, mereka ada harapan juga untuk menang," jelas Piter. 

Dia mengatakan, saat ini belum bisa dipastikan siapa yang bakal memenangkan persaingan ini. Hanya saja, bank yang mampu lebih awal masuk mencuri start dan mengembangkan ekosistem digital akan diuntungkan. Tetapi itu bukan kunci untuk jadi pememang. 

Piter juga belum bisa memastikan apa keunggulan bank-bank yang dimasuki oleh investor asing ini ke depan. Namun, pengembangan bank di era digital membutuhkan modal yang kuat sebagai syarat utama dan investor asing dilihat memiliki jaringan pemilik dana yang kuat. 

Namun, modal bukanlah satu-satunya syarat. "Tantangan selanjutnya adalah apakah dengan modal yang kuat itu bank bisa benar-benar mampu mengembangkan sistem dan layanan digital yang lebih kompetitif," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×