kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45891,58   -16,96   -1.87%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini Prospek Biaya Dana Bank Digital di Tengah Suku Bunga Tinggi


Selasa, 14 November 2023 / 15:42 WIB
Begini Prospek Biaya Dana Bank Digital di Tengah Suku Bunga Tinggi
ILUSTRASI. Peluncuran Jago Digital Academy oleh Bank Jago.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persaingan penghimpunan dana di industri perbankan digital akan semakin memanas di tengah suku bunga tinggi. Apalagi, pemain baru terus bermunculan dan bersiap-siap menjaring dana lewat beragam promo. 

Terbaru, Astra Group bersama dengan partnernya Weelab Sky Limited akan segera meluncurkan bank digital bernama Bank Saqu. Ini merupakan konversi dari Bank Jasa Jakarta yang baru dicaplok Astra Group sejak tahun lalu.

Bank Saqu tenagh bersiap-soap menjaring dana dengan iming iming bunga deposito hingga 10%, lebih tinggi dari tawaran Bank Neo Commerce (BBYB) dan SeaBank yang pernah bikin heboh sempat menawarkan bunga hingga 8%.

Meski belum resmi diluncurkan, aplikasi Bank Saqu sudah hadir di google playstore sejak dua pekan lalu. Hingga 11 November 2023, aplikasi bank tersebut sudah diunduh lebih dari lima ribu orang. Aplikasi tersebut menawarkan beberapa fitur. Di antaranya adalah fitur saku booster yang menawarkan bunga hingga 10%.

Baca Juga: Bank Digital Milik Astra Siap Meluncur Tahun Ini

Suku bunga tinggi belum akan berakhir dalam waktu dekat.Belum lama ini, Ketua Bank Sentral AS Jerome Powell menyampaikan bahwa otoritas moneter hanya menunda kenaikan suku bunga dan belum resmi mengakhirinya. The Fed merasa tidak begitu yakin kebijakan bunga saat ini mampu meredam inflasi.
 
Sementara itu di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 6% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober lalu.
 
Analis kini menyoroti daya saing bank digital di tengah tren suku bunga yang masih menanjak dan perilaku bank digital yang agresif menawarkan bunga tinggi. Kenaikan biaya dana berpotensi mengikis marjin, karena bank tidak selalu bisa mengompensasi lonjakan CoF ke bunga kredit. Kenaikan bunga kredit akan terbatasi oleh kemampuan nasabah dan daya saing bank itu sendiri.  
 
"Bank digital yang relatif baru, karena bersaing meraih pendanaan dengan bank lain termasuk big-bank, strategi fundingnya cenderung menawarkan bunga yang tinggi. Ini berisiko," ungkap Rio Febrian analis Pintraco Sekuritas, Selasa (14/11).

Ia menambahkan, sumber pendanaan juga sangat menentukan struktur dana dari bank itu sendiri. Banyak bank digital yang struktur dananya masih didominasi oleh deposito berjangka dengan porsi mencapai lebih dari 70% DPK, sehingga wajar jika biaya dananya cenderung lebih mahal dan jauh lebih sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Beberapa bank digital masih memiliki struktur pendanaan yang didominasi dana mahal. Allo Bank (BBHI) misalnya, memiliki rasio deposito 87% terhadap total dana pihak ketiga (DPK) per September 2023 dan Bank Neo Commerce (BBYB) mencapai 75% per Agustus. Namun, aada juga yang rasionya sudah kecil seperti Sea Bank yangb mencapai 35% dari DPK dan Bank Jago (ARTO) sebesar 25%.

Menurut Rio, strategi pendanaan bank digital memang beda-beda dan karena itu menghasilkan daya saing yang juga tidak sama. Bank digital yang memiliki ekosistem transaksional yang luas seperti ARTO dinilai akan diunggulkan ketika suku bunga sedang tinggi. "ARTO memiliki ekosistem GOTO dengan jumlah pengguna yang sangat luas, kolaborasi dan integrasi keduanya bisa dimanfaatkan untuk mengelola risiko suku bunga terhadap Cost of Fund" katanya.

Baca Juga: Holding Ultra Mikro Akan Jaring Nasabah Baru 8,4 Juta Lagi Hingga 2024
 
Bank digital yang mampu mengelola biaya dana di era bunga tinggi akan diuntungkan dua hal. Pertama, produk pinjamannya akan kompetitif karena bisa menetapkan pricing ke nasabah (bunga kredit) secara lebih bersaing. Kedua, marjin bunga bersih relatif bisa terjaga karena pendapatan bunga tidak tergerus biaya bunga. Sebaliknya, bank yang gagal mengelola CoF akan terpukul di marjin dan menekan daya saing produk pinjaman.  
 
Abdul Azis analis Kiwoom Sekuritas turut menyoroti kinerja bank digital di tengah tren kenaikan suku bunga acuan. Ia menilai pada banyak kasus lonjakan CoF sudah mulai terjadi.
 
"Transmisi kebijakan moneter sudah berjalan, bank-bank sudah mulai melakukan re-pricing dari sisi suku bunga untuk kredit maupun pendanaannya. Pada kasus bank digital, karena pricing suku bunga di awal sudah relatif tinggi, maka dengan kenaikan suku bunga membuat CoF juga naik" kata Azis.
 
Azis juga menambahkan bank digital juga memiliki eksposur ke segmen mass market dari sisi lending terutama consumer. Banyak di antaranya memiliki catatan dari sisi kualitas aset. "CoF naik, loan yield juga ikut naik tetapi cost of credit juga naik karena NPL naik sehingga pada akhirnya muncul concern," kata dia
 
Menurutnya, bank digital harus mampu mengelola strategi funding dan lending dengan baik. Ia memberi contoh pada kasus ARTO yang memiliki cost of fund terendah dibandingkan dengan bank digital lain. Dia melihat, CoF ARTO bisa di bawah 3% sedangkan bank digital lain bisa di kisaran 4-5% karena strategi pendanaan tepat. Selain itu, manajemen neraca bank digital tersebut juga prudent.
 
"Dari sisi funding, ARTO memiliki ekosistem pendanaan yang integrated apalagi dengan launching GoPay Tabungan yang bisa jadi buffer kenaikan CoF. Dari sisi lending juga diversifikasi kredit dan manajemen risiko terukur sehingga biaya krediit bisa terus diturunkan sejalan dengan NPL," kata Azis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×