Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
“Pertama, dasar penempatannya melalui PP, ini peraturan teknis di bawah UU, sementara kewenangan LPS dalam UU adalah untuk menangani bank jika telah ditetapkan gagal. Semangatnya baik untuk mencegah bank gagal, karena ongkos menangani bank gagal lebih mahal,“ jelasnya kepada Kontan.co.id.
Ia menambahkan lebih tepat jika terlebih dahulu, dibuat Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) yang payung hukumnya lebih tinggi dibandingkan Peraturan Pemerintah (PP).
Adapun alasan kedua adalah soal sumber dana. Penempatan dana akan berasal dari kocek LPS. Sehingga jika bank yang menerima penempatan dana pada akhirnya menjadi bank gagal, akan dihitung sebagai kerugian negara.
Baca Juga: Cegah bank gagal, penempatan dana LPS terbatas dan tak boleh sembarangan
“Penempatan dana sementara aman, tapi jika bank menjadi gagal, dan dana tak aman maka merugikan negara,” sambungnya.
Alih-alih menempatkan dana dengan risiko sebagai kerugian negara, Aviliani memberi opsi alternatif, misalnya LPS bisa menerbitkan surat utang untuk dijual ke Bank Indonesia. Nilainya bisa sesuai dengan kebutuhan likudiitas jangka panjang sejumlah calon bank bermasalah.
“Di UU 2/2020 LPS memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat utang. Bank yang kekurangan likuiditas bisa memanfaatkan hasil penjualan surat utang ini, karena mereka juga tidak bisa meminjam likuiditas dari BI, atau PUAB. LPS bisa masuk di sana tanpa mengubah struktur regulasi,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News