kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berminat ekspansi ke Indonesia, fintech lending dari Beijing sambangi pemain lokal


Jumat, 19 Juli 2019 / 17:15 WIB
Berminat ekspansi ke Indonesia, fintech lending dari Beijing sambangi pemain lokal


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Guna mengetahui seluk beluk bisnis fintech peer to peer lending Beijing Internet Finance Industry Association (BJIFIA) menemui Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) di Jakarta pada Jumat (19/7). Baik dari kode etik, skema bisnis, dan bunga pinjaman dari AFPI supaya perusahaan asal Beijing yang ingin bisnis ke Indonesia memiliki persiapan yang matang.

Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menyatakan kedua asosiasi ini saling berbagai pengalaman. Ia menyebut di China belum ada fintech yang berizin. Sedangkan di Indonesia sudah terdapat tujuh entitas yang berizin dari 113 entitas terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Baca Juga: OJK sebut ada 35 fintech akan memulai uji regulatory sandbox

“Tadi kita belajar beberapa hal, pertama, mereka sudah memiliki data sharing black list menggunakan teknologi blockchain. Selain itu kepercayaan bagi masing-masing pelaku fintech terhadap data-data yang di-sharing lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia masih dibangun dan menuju penggunaan blockchain,” ujar Kuseryansyah di Jakarta pada Jumat (19/7).

Memang saat ini, AFPI tengah membangun pusat data fintech lending (Pusdafil). Pusat data ini bakal memuat informasi terkait calon peminjam yang terindikasi melakukan penipuan (fraud), terlambat membayar pinjaman, dan meminjam di lebih dari satu perusahaan fintech lending. Saat ini pembangunan Pusdafil tengah memasuki proyek percontohan.

Lanjut Ia tingkat inklusi keuangan di China juga sudah tinggi tecermin di mana dari ribuan entitas fintech, 50% diantaranya berada di Beijing. Sisanya tersebar di luar Beijing. Kus berharap Indonesia juga bisa belajar. Lantaran hingga saat ini lebih 90% fintech Indonesia masih di Jakarta.

Baca Juga: Hingga April 2019 ada 93 tekfin yang mendaftarkan pencatatannya di OJK

Sedangkan Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede menyebut dalam hal ini bila kedua asosiasi menjalani kerja sama maka AFPI harus diuntungkan. Misalnya BJIFIA memberitahukan daftar fintech lending ilegal asal China agar AFPI bisa mengetahui pemain nakal ini.

Apalagi berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2019 terdapat 113 fintech lending terdaftar dan diawasi oleh regulator. Berdasarkan statusnya 81 entitas lokasi dan 32 lainnya berstatus penanaman modal asing. AFPI mengaku kebanyakan penanaman modal asing berasal dari China.

“Bila satu penyelenggara fintech lending di sana masuk ke dalam asosiasi maka menunjukkan mereka mengikuti peraturan dan kebijakan yang berlaku. Itikad baik ini yang penting bagi kami agar fintech yang menjadi anggota AFPI nantinya juga sudah terdaftar terlebih dahulu dari asosiasi di sana. Maka akan berkomitmen dan patuh juga di sini dan kami terbuka,” kata Tumbur.

Baca Juga: Sejauh ini, Himbara belum menyetorkan modal ke Fintek Karya Nusantara

Lanjut Ia bila pengusaha China masuk ke dalam industri fintech Indonesia tidak akan menjadi persoalan. Tumbur menilai investasi yang masuk ke dalam negeri akan berdampak positif selama regulator menyeleksi dengan tepat.

“Jika mereka datang dengan legal dan membawa uang sebagai pemberi pinjaman atau lender kita senang. Sebab risiko ada di tangan mereka, apalagi mereka lebih suka mengambil pinjaman yang lebih berisiko,” jelas Tumbur.

Selain itu, Tumbur berharap lewat pertemuan ini nantinya bakal ada tindakan bersama untuk membendung penyelenggara fintech illegal asal China. Tumbur ingin nantinya mengetahui penyelenggara asal China yang sudah terdaftar menjadi anggota asosiasi.

Baca Juga: Hingga pertengahan Juli, LinkAja belum terima setoran modal tahap I

Berdasarkan data OJK akumulasi pinjaman lewat fintech lending hingga Mei 2019 tercatat sebesar Rp 41,04 triliun. Nilai ini tumbuh 81,11% dibandingkan tahun lalu atau year to date (ytd) di 2018 sebesar Rp 22,66 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×