kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

BI akan mengatur margin bank


Sabtu, 26 Januari 2013 / 12:39 WIB
BI akan mengatur margin bank
Start up Sampingan di masa pandemi sudah gaet lebih dari satu juta pengguna.


Reporter: Roy Franedya | Editor: Edy Can

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan menggunakan tingkat efisiensi sebagai salah satu penilaian dalam memberikan izin ekspansi perbankan. Namun, BI tidak akan memukul rata tingkat efisiensi, tapi disesuaikan dengan strata Bank Umum dengan Kegiatan Usaha (BUKU).

Dalam menghitung tingkat efisiensi perbankan, BI akan menggunakan indikator net interest margin (NIM) atau margin bunga bersih dan Beban Operasional berbanding Pendapatan Operasional (BOPO). Irwan Lubis, Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan BI, mengatakan penggunaan tingkat efisensi dalam pemberian izin ekspansi agar bank memberikan bunga kredit kompetitif.

Dengan begitu, bank di Indonesia bisa bersaing dengan bank di kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)mendatang. Rata-rata NIM di negara ASEAN antara 2%-3%. "Di Indonesia terjadi anomali. Makin boros bank, NIM makin kecil. Ini yang kami usahakan agar mereka menurunkan kedua-duanya," ujarnya, Kamis (10/1).

Irwan mengakui, tingkat efisiensi perbankan Indonesia tak mungkin bisa sama persis dengan bank di negara kawasan. Namun, selisih seharusnya tidak terlalu jauh berbeda, sebab biaya tertinggi perbankan tetap pada biaya dana (cost of fund).

Biaya overhead atau biaya operasional bank jugatidak signifikan. "Contohnya biaya dana di Indonesia sekitar 5% dan biaya overhead 1,5%, bunga kredit maksimal 12%. Sekarang, kenapa bunganya hingga 18%," ujar Irwan heran. Jika mengambil contoh Irwan, idealnya "selisih" bunga biaya dana dan bunga kredit cuma 5,5%.

Beberapa bankir menyarankan agar bank sentral berhati-hati menerapkan ukuran besaran NIM dan BOPO. Menurut mereka, kedua indikator itu berpotensi meningkat, jika bank menyalurkan kredit ke sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dam ekspansi bank ke daerah yang layanan perbankannya kurang sehingga biaya bank menjadi tinggi.

Tony A. Prasetiantono, Komisaris Independen Bank Permata, menjelaskan, berdasarkan penelitian, bank yang meningkatkan penetrasi kredit ke UMKM akan membukukan kenaikan NIM.  Bank spesialis mikro akan mencatatkan penurunan NIM ketika melakukan diversifikasi penyaluran kredit ke korporasi dan konsumer.

Tony memberikan contoh berdasarkan penelitiannya, Bank Mega, pada semester I-2012, NIM menjadi 7% dibandingkan setahun sebelumnya 4,56%. Kenaikan ini karena Bank Mega memperbesar penyaluran kredit UMKM dari Rp 2,4 triliun menjadi Rp 6,7 triliun. Sementara Bank Rakyat Indonesia (BRI)mencatatkan penurunan NIM, dari 10,04% menjadi 8,43% pada kuartal III 2012. Penyebabnya, di BRI  porsi kredit korporasi meningkat dari 20,6% menjadi 24,6%.

BI mewajibkan bank menyalurkan kredit UMKM minimal 20% atau kredit mikro minimal 10% dari total pembiayaan. "Jangan sampai aturan ini malah membuat bank divonis tidak efisien. Padahal aturan ini yang membuat BI juga," jelas Tony, Selasa (22/1).

Jahja Setiaadmaja, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), menyarankan agar  BI tak ketat dalam membuat ukuran BOPO. Perbankan di Indonesia sedang gencar ekspansi. Sementara bank-bank di kawasan ASEAN sudah tidak ekspansi lagi karena sektor yang mereka biayai jenuh."Rata-rata break even point atau titik impas (BEP) satu cabang di Indonesia antara 18 bulan - 24 bulan," ujar Jahja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×