Reporter: Nina Dwiantika |
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mewacanakan perlunya aturan main pinjaman luar negeri (PLN) swasta. Tujuannya, mengantisipasi dampak krisis ekonomi global terhadap ekonomi dalam negeri.
Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, perusahaan yang mengekspor hasil usaha bukan dalam valuta asing (valas), sebaiknya tidak meminjam likuiditas berbentuk valas karena pasar global masih bergejolak.
Jangan sampai perusahaan-perusahaan yang meminjam valas tiba-tiba kesulitan membayar kewajiban jatuh tempo. "Perusahaan swasta yang meminjam dalam valas tapi pendapatan dalam rupiah, risikonya besar," kata Darmin.
Bank sentral tengah melakukan studi bentuk aturan tersebut. Salah satunya dengan mekanisme lindung nilai alias hedging. "Harus ada peraturan atau kebijakannya, kalau masuk wilayah BI, maka BI yang membuat aturan. Kalau masuk wilayah pemerintah, artinya pemerintah yang membentuk," tutur Darmin, akhir pekan lalu.
Darmin menjelaskan, belakangan ini PLN swasta terus meningkat. Tapi, dari indikator makro, seperti produk domestik bruto (PDB) masih aman. Berdasarkan data neraca pembayaran BI, di kuartal II-2011, kewajiban investasi lain sektor swasta mencatat surplus sebesar US$ 3,4 miliar, lebih tinggi dari kuartal I-2011 yang hanya sekitar
US$ 700 juta.
Peningkatan surplus itu terutama berasal dari penarikan PLN, baik dari sektor bank maupun korporasi yang masing-masing sebesar US$ 800 juta dan US$ 5,5 miliar. Angka ini naik dibandingkan kuartal satu lalu yang masing-masing US$ 500 juta dan US$ 3,9 miliar. Pembayaran PLN swasta naik menjadi US$ 4,2 miliar, dari US$ 2,8 miliar di kuartal satu lalu.
Harus ada heding
Pengamat Ekonomi, Agustinus Prasetyantoko berpendapat, bank sentral memang harus lebih ketat melakukan supervisi pinjaman asing oleh swasta. Salah satu langkah misalnya, membatasi perusahaan berutang valas dalam proporsi tertentu dari ekuiti, sebagai langkah antisipasi. Misalnya, pinjaman berbentuk valas maksimal 30% dari ekuiti.
Menurut Prasetyantoko, penyebab krisis ekonomi Indonesia 1997-1998 lantaran ketidakcocokan mata uang (currency mismatch). Pada masa krisis, perusahaan swasta cenderung hati-hati berutang dalam mata uang asing.
Namun, akhir-akhir ini PLN justru meningkat, karena suku bunga asing jauh lebih rendah dibandingkan suku bunga di Indonesia. "Semakin besar saat Amerika Serikat melaksanakan quantitative easing III pada November mendatang," tutur Prasetyantoko.
Pengamat Perbankan Krisna Wijaya mengatakan, BI dan pemerintah harus memiliki tujuan utama mengatur PLN. Misalnya sebagai bentuk efisiensi dan efektivitas. Perusahaan dengan pendapatan rupiah, sangat tidak efisien dan efektif jika berutang dollar. "Kalau tidak di-hedging akan ada tambahan risiko perubahan nilai tukar," ujar Krisna.
Aturan ini bisa dibuat misalnya untuk menghindari spekulasi. Juga mencegah penyimpanan utang dollar, dengan harapan nilai tukar rupiah melemah agar mendapatkan untung kurs. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News