kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI ibarat bermain layangan di masa akhir


Rabu, 28 November 2012 / 12:25 WIB
BI ibarat bermain layangan di masa akhir
ILUSTRASI. Obat batuk herbal bisa Anda manfaatkan untuk menjaga kesehatan.


Reporter: Arief Ardiansyah, Andri Indradie, Roy Franedya, Dian Pitaloka Saraswati, Raymond Reynaldi | Editor: Imanuel Alexander


Akhir tahun ini hingga awal 2013, BI akan merilis setidaknya empat aturan baru. Selain bersifat merelaksasi, sebagian aturan justru memperketat bisnis bank. Ini merupakan upaya menuju era perbankan yang sesuai Arsitektur Perbankan  Indonesia.

Tradisi tahunan Bank Indonesia (BI), Bankers Dinner, memunculkan tren berupa kehadiran berbagai aturan baru di akhir  tahun. Tahun lalu, misalnya, selama Desember 2011, otoritas perbankan tersebut meluncurkan tujuh beleid baru yang terdiri dari empat surat edaran (SE) dan tiga peraturan BI (PBI). Salah satu beleid yang ramai diperbincangkan kala itu adalah aturan tentang outsourcing di industri perbankan.

Tahun ini pun hampir sama. Sejak beberapa bulan lalu, BI sudah memunculkan rencana sejumlah pengaturan perbankan. Beberapa  rencana aturan tersebut di antaranya pengaturan izin berjenjang (multiple license), trustee bank, uang muka minimal pembiayaan rumah dan kendaraan bermotor di perbankan syariah, hingga revisi aturan kepemilikan tunggal bank.

Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah memastikan beragam aturan ini bukan aksi reaktif dan tiba-tiba BI seiring beralihnya fung si pengaturan dan pengawasan perbankan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per awal 2014. Dia bilang, aturan-aturan  tersebut merupakan hasil perencanaan jangka panjang yang selaras dengan pelaksanaan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Tahun depan, dalam fase transisi pengawasan bank ke OJK, Halim menyebut, BI tidak akan mengeluarkan kebijakankebijakan  yang struktural tanpa berkolaborasi dengan OJK. Apalagi bila melihat potret industri perbankan terkini yang memiliki tingkat kecukupan modal, likuiditas, dan manajerial yang baik serta penuh kehati-hatian. “Kami tidak melihat adanya potensi gangguan kestabilan sistem perbankan tahun depan,” kata Halim.

Komisioner OJK Nelson Tampubolon juga melihat berbagai rencana aturan perbankan baru yang keluar akhir tahun ini bukan lantaran adanya kekhawatiran terhadap kondisi industri bank tahun depan. Saat ini, perbankan berada dalam kondisi sehat.  
“Aturan-aturan baru ini lebih untuk meningkatkan daya tahan perbankan menghadapi persaingan global, khususnya menyambut  penerapan Masyarakat Ekonomi Asean pada 2015,” tukas dia.

Kepemilikan bank

Dari deretan aturan baru perbankan yang mulai dirilis akhir tahun ini, BI berniat merevisi PBI Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Aturan ini beken dengan sebutan single presence policy (SPP).

Selama ini, berdasarkan aturan tersebut, setiap pihak hanya boleh menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank saja. Kepemilikan anak usaha maksimal dua bank dimungkinkan bila bank-bank yang dimiliki tersebut melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara konvensional dan syariah.

Dampak dari aturan tersebut, sekarang kita mengenal, misalnya, Bank CIMB Niaga dan Bank UOB Buana. Kedua bank ini masing-masing hasil penyatuan Bank Niaga dan Bank Lippo serta Bank UOB Indonesia dan Bank Buana.
 
Upaya merevisi aturan SPP ini menguat setelah BI merilis PBI Nomor 14/8 PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum pertengahan tahun ini. Aturan ini untuk memastikan terjadinya peningkatan ketahanan perbankan melalui peningkatan penerapan prinsip kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik (good corporate governance).

Jadi, aturan ini memastikan bank memiliki tingkat kesehatan di level tertentu selama tiga kali masa pengawasan masing-masing enam bulan. Bagi bank dengan tingkat kesehatan di bawah ketentuan, BI mewajibkan bank tersebut merger dengan bank  lain. Bila merger tidak terwujud, pemilik bank tersebut harus rela melepas kepemilikan sahamnya.

BI mendapati ada sekitar 10 bank yang terancam terkena aturan ini. Padahal, bank-bank itu belum tentu jelek-jelek amat.  Bank-bank kecil yang kurang sehat bisa dibeli oleh bank-bank besar yang lebih sehat. Tapi, bank-bank besar itu terkendala aturan SPP.

Nah, dalam revisi aturan ini, BI akan memperbolehkan bank umum memiliki anak usaha bank umum lebih dari satu. Tentu izin ini tidak diberikan gratis dan tanpa syarat. BI mewajibkan bank mengajukan izin terlebih dulu ke regulator. Selain itu, bank wajib memiliki satu direksi khusus dalam jajaran direksinya yang bertugas membawahi anak-anak usaha.

Selain menawarkan angin segar berupa relaksasi kepemilikan anak usaha, ada juga pengetatan aturan dalam revisi ini. Khusus bagi pemodal asing, BI akan mewajibkan mereka selaku pemegang saham pengendali (ultimate shareholder) bank lokal untuk  membentuk holding company atau perusahaan induk perbankan di Indonesia.

Holding perbankan

Ide pembentukan perusahaan induk ini merupakan jalan keluar atas diizinkannya bank ataupun investor menjadi pemegang saham pengendali di banyak bank. Jadi, mereka tidak perlu lagi menggabungkan bank-bank miliknya dalam satu institusi.

Selama ini, masih ada beberapa ultimate shareholder perbankan nasional yang sebenarnya satu perusahaan. Sebut saja Temasek  Holding yang memiliki PT DBS Indonesia dan PT Bank Danamon Tbk.

Sejatinya, sebelum pengaturan holding company ini juga sudah ada aturan SPP. Aturan tersebut mendefinisikan perusahaan induk di bidang perbankan itu adalah badan hukum yang dibentuk dan atau dimiliki oleh Pemegang Saham Pengendali untuk mengonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas bank-bank yang merupakan anak perusahaannya.

Sayang, pejabat BI masih enggan bercerita banyak mengenai aturan baru tersebut sampai digelarnya Bankers Dinner, Jumat  malam lalu (23/11). Misalnya mengenai, apakah kewajiban pembentukan holding company ini berlaku surut dan apakah juga berlaku bagi investor yang memiliki satu bank saja.

Ekonom Doddy Arifianto menilai wajar upaya BI mewajibkan pembuatan holding company bagi investor untuk memiliki banyak bank. Praktik ini lazim berlaku di banyak negara. “Setelah itu, baru melihat aturan mainnya dalam berbisnis yang terlihat di aturan multiple license,” imbuhnya.

Dia melihat, revisi aturan SPP ini bisa membenahi industri perbankan saat ini ke arah yang lebih baik. Maklum, selama ini persaingan bank sangat ketat. Bank-bank kecil tidak mampu bersaing dengan bank besar. Doddy mengusulkan bank-bank besar  harus segera melangkah menjadi bank internasional.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Group Destry Damayanti menilai momentum BI mengatur SPP dan holding company ini sudah tepat.  Pada 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berlaku. Kala itu, Indonesia butuh bank yang benar-benar kuat. “Kehadiran aturan holding untuk konsolidasi perbankan ini bagus karena akan terjadi penambahan modal yang signifikan,” katanya.

Memang, aturan-aturan ini nantinya akan mendorong bank-bank untuk berkonsolidasi dan meningkatkan modal untuk ekspansi bisnis. Bagi pemilik bank yang tidak mampu menambah modal, ujung-ujungnya harus rela melakukan langkah lain. Opsinya, bergabung dengan bank lain alias merger atau melepas kepemilikannya.

Jadi, dengan berbagai aturan ini, wacana lama yang menginginkan jumlah bank di Indonesia tak sebanyak saat ini bisa terwujud. Saat ini, bank umum yang beroperasi di Tanah Air mencapai 121 bank. Nah, bila aturan ini berjalan, bukan tidak mungkin dalam 15-20 tahun ke depan, jumlah bank di Indonesia tinggal 50 bank saja.

Tentu saja, kita berharap jumlah bank yang lebih sedikit bisa memberi kemanfaatan yang lebih banyak bagi masyarakat dan  perekonomian bangsa ini. Semoga!

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 09 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×