kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

BI Siap merevisi beleid kepemilikan tunggal


Kamis, 31 Januari 2013 / 09:56 WIB
BI Siap merevisi beleid kepemilikan tunggal
ILUSTRASI. Pelindo


Reporter: Nina Dwiantika |

JAKARTA. Panitia kerja (Panja) DPR RI untuk RUU Perbankan terus mencari masukan dari pemangku kepentingan di industri ini. Kemarin (30/1), mereka menggelar rapat tertutup dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Hotel Four Season, Jakarta. Pertemuan kali ini mengkaji peluang benturan aturan antara calon draf RUU dengan regulasi yang ada. Tujuannya, agar UU yang lahir kelak dapat saling menopang atau menghapus ketentuan yang saling bertolak belakang.

Ketua Komisi XI DPR, Emir Moeis, mengatakan ada empat poin yang dibahas. Antara lain pasal mengenai izin usaha berjenjang (multiple license), prinsip kepemilikan tunggal atau single presence policy (SPP), kepemilikan saham perbankan dan permodalan bank berdasarkan Bank Umum Kelompok Kegiatan Usaha (BUKU). "Kami meminta masukan agar jangan sampai ada aturan yang sia-sia," kata politisi PDIP ini.

Achsanul Qosasih, anggota Komisi dari Fraksi Partai Demokrat, menambahkan, rapat ini membahas poin-poin aturan mengenai struktur bank. RUU Perbankan juga akan membatasi ekspansi bank asing dan kewajiban bank asing menyalurkan kredit ke sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). "Kami akan menguatkan peraturan yang ada. Secara eksplisit, UU tidak membedakan, tapi secara proporsional akan menguntungkan bank lokal," katanya.

Dari berbagai masalah yang ada, perbedaan mencolok antara RUU dan regulasi BI ada di pasal kepemilikan tunggal. Draf RUU buatan DPR itu menyebutkan, investor hanya boleh memiliki satu bank umum dan bank syariah. Sementara aturan terbaru BI, membolehkan investor memiliki banyak bank, asalkan mau membentuk holding company di Indonesia. 

Catatan saja, BI pertama kali mengatur SPP melalui PBI Nomor 8/16/PBI/2006. Isinya, investor yang memiliki lebih dari dua bank harus menggabungkannya menjadi satu atau melepas ke pihak lain.

Aturan tersebut diperbarui akhir 2012. PBI Nomor 14/ 24 /PBI/2012 menyebutkan investor boleh memiliki bank lebih dari satu. Beleid ini untuk menopang implementasi aturan kepemilikan saham bank. Tujuannya, ketika ada bank yang terkena kewajiban divestasi, tidak akan kesulitan mencari investor baru.  

Achsanul menegaskan, pasal yang menyebutkan investor hanya memiliki satu bank masih dalam pengkajian. DPR harus memperhitungkan kondisi investor dan bank. "Masih tahap pembahasan, pasalnya juga belum matang," katanya. Ia mengusulkan, bank yang boleh memiliki dua atau lebih anak usaha adalah bank-bank BUMN dengan membentuk unit yang berfungsi sebagai holding company.

BI hanya bisa pasrah. Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI, Difi Ahmad Johansyah, mengatakan jika UU Perbankan yang baru melarang investor punya banyak bank, BI akan mengubah lagi aturan mengenai SPP dan holding company. "Demi kepastian hukum, sebaiknya pembahasan RUU dipercepat," katanya, terkait soal kebingungan investor dalam mengikuti aturan BI yang berpotensi dianulir calon UU.

 Difi mengingatkan, PBI mengenai bank holding company dirancang untuk menopang aturan kepemilikan saham bank yang terbit Juni 2012. Dengan merelaksasi aturan SPP, bank kurang modal atau memiliki good corporate governance (GCG)  buruk, tidak kesulitan mendivestasikan saham mereka. BI lalu mengunci investor pemilik banyak bank itu dengan mewajibkan membentuk perusahaan induk. "Pengawasan bakal lebih baik lagi," kata Difi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×