kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI Tawarkan Alternatif Struktur OJK


Selasa, 10 Agustus 2010 / 19:35 WIB


Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Menjelang pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) di DPR, wacana mengenai OJK pun kembali memanas. Pembahasan rancangan beleid ini dipastikan bakal berlangsung alot dan ramai mengingat adanya pertentangan kepentingan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan.

Maklumlah, pemerintah menginginkan wewenang pengawasan sektor perbankan dilepaskan dari Bank Indonesia, sesuai amanat UU BI Tahun 2004. Sementara BI bersikukuh tidak mau pengawasan perbankan dilepaskan dari tangannya.

Nah, di tengah semakin dekatnya masa pembahasan RUU OJK, BI melempar wacana baru bentuk pengawasan perbankan yang ideal oleh bank sentral. Bentuk baru tersebut diajukan sebagai opsi alternatif struktur dan pembagian kewenangan pengawasan sektor perbankan dalam konteks tetap ada OJK. "Ini opsi saja, tidak mengurangi keberadaan OJK," ujar Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad.

Menurut Muliaman, pengalaman banyak negara pasca krisis tahun 2008 lalu sejatinya telah membawa banyak isu baru tentang pengawasan sektor keuangan. "Ada tiga concern yang perlu kita perhatikan bersama yakni prudential supervisi tetap harus berjalan siapa pun yang mengawasi, kemudian market supervision atau pengawasan atas market conduct, dan pengawasan terhadap institusi-institusi keuangan yang berpotensi sistemik," ungkapnya dalam Seminar Nasional tentang OJK yang digelar Perbanas dan IBI di Jakarta, Selasa (10/8).

Tren di banyak negara kini, pasca terjadinya krisis 2008 silam justru berbalik arah dari isu beberapa tahun sebelumnya. "Konsolidasi supervisi dan konglomerasi cenderung dipisah-pisah," kata Muliaman. Seperti putusan Inggris yang akan membubarkan OJK-nya. Juga, pengalaman Jerman dengan keberadaan Universal Banking yang sifatnya konglomerasi.

Bukan hanya itu, Muliaman juga menilai masalah efektivitas koordinasi juga mutlak dimiliki oleh otoritas jasa keuangan. Keberadaan BI menurut Undang-Undang memiliki fungsi tak hanya sebagai otoritas moneter, namun juga sebagai otoritas sistem pembayaran, dan otoritas sektor perbankan. "Saya tidak bisa bayangkan jika ada pemisahan sistem pembayaran dengan perbankan. Karena bank-lah yang melakukan sistem itu, jadi susah dibayangkan jika ini dipisahkan," tandasnya.

Gambarannya, ujar Muliaman, wewenang pengawasan perbankan akan dipimpin oleh sebuah Dewan Pengawasan Bank. Dewan ini tersendiri di luar Dewan Gubernur BI, namun garis tanggung jawabnya tetap ke Gubernur BI. Struktur seperti ini, menurut Muliaman akan menjawab beberapa persoalan yakni ketika akan menyelesaikan sistem pembayaran dan moneter, si pengawas bank tetap berkoordinasi dengan BI namun dia tetap memiliki otonomi sendiri.

Dewan Pengawas Bank tersebut bisa berisi bermacam-macam kalangan. "Bisa ada ex officio seperti di LPS, maupun orang swasta, namun intinya adalah bagaimana otonomi bisa dilakukan. Ini adalah salah satu opsi yang paling mungkin sepanjang dia bisa dalam koordinasi," papar Muliaman. Jadi, intinya, fungsi pengawasan perbankan tetap ada di bawah Gubernur BI namun strukturnya terpisah alias otonom dari Dewan Gubernur.

Dewan pengawas perbankan ini bisa berkoordinasi juga dengan OJK yang mengawasi pasar modal dan industri keuangan non bank. Hanya saja, tanggung jawabnya atau garis komandonya di bawah Gubernur BI.

Dengan struktur alternatif tersebut, menurutnya, masa transisi pun bisa lebih mulus. "Isu makro prudential supervisory bisa tetap terakomodir. Untuk masalah fee pun tidak lagi jadi persoalan karena akan tetap seperti sekarang," katanya. Muliaman juga menegaskan ini merupakan opsi yang ditawarkan oleh BI sebagai alternatif bentuk OJK yang ditawarkan oleh pemerintah dalam RUU OJK.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×