Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa mata uang virtual atau virtual currency tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni Panggabean juga menyebut pihaknya pun melarang penggunaan mata uang virtual dalam seluruh pemrosesan transaksi pembayaran.
Hal ini sebetulnya telah diatur oleh BI sejak beberapa tahun silam, tertuang dalam pasal 34 PBI No 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
Implikasi dari aturan ini antara lain perusahaan penyedia jasa sistem pembayaran (PJSP) yang memproses transaksi menggunakan virtual currency dapat dikenakan sanksi teguran, denda sampai pencabutan izin.
Larangan ini juga diperkuat lewat Pasal 8 ayat (2) PBI No 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial yang intinya menyebutkan penyelenggara teknologi finansial (fintech) dilarang melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency.
Tak main-main, jika perusahaan fintech tersebut kedapatan menggunakan mata uang virtual sebagai alat pembayaran maka perusahaan tersebut dapat dihapus dari tanda daftar Bank Indonesia sehingga tidak dapat bekerja sama dengan PJSP.
"Ini bukan isu baru, beberapa kali sudah dilontarkan (larangan) tapi lebih baik kami kembali ingatkan bahwa ada hal-hal penting yang harus diwaspadai dan kami peringatkan untuk tidak dilakukan," ujar Eni di Jakarta, Senin (15/1).
Bank sentral juga meninjau empat karakteristik mata uang virtual yang berpotensi menimbulkan risiko sebagai landasan peringatan tersebut. Pertama, tidak adanya regulator dalam mata uang elektronik sehingga tidak adanya kepastian hukum serta tidak mengikuti best practice atau standar internasional untuk memastikan keamanan dan efisiensi penyelenggaraan.
Kedua, karakteristik transaksi mata uang ini bersifat peer to peer alias tidak adanya perantara secara formal. "Tidak ada penengahnya, karena person to person dan yang lain bisa membaca, jadi tidak ada yang bisa komplain ke pedagangnya," kata Eni.
Ketiga, identitas pelaku transaksi tersamarkan alias tidak dapat diidentifikasikan dengan transaksinya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal.
Terakhir, tidak terdapat entitas sentral yang menjadi subjek pengaturan. Hal ini membuat fluktuasi harga mata uang virtual cukup drastis lantaran penerbitan dan harga ditentukan oleh pasar. "Dengan pertimbangan ini, kami melihat satu per satu maka BI keluarkan pernyataan yang ada," tambahya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News