Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) kembali memberikan stimulus untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di Tanah Air. Salah satunya antara lain dengan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing) berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah. Dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur, Selasa (14/4) Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut bank sentral akan menurunkan kembali GWM rupiah masing-masing sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional dan 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah berlaku mulai 1 Mei 2020.
Bukan hanya itu, Perry juga menyampaikan BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan giro untuk pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) baik terhadap bank konvensional maupun syariah. Sekaligus, untuk memperkuat manajemen likuiditas perbankan dan sehubungan dengan penurunan GWM Rupiah tersebut, Bank Indonesia menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional dan sebesar 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah, mulai berlaku 1 Mei 2020. Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang akan diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana.
Baca Juga: NIM perbankan akan semakin menipis seiring meningkatnya restrukturisasi kredit
Menurut Perry, dengan adanya kebijakan dan pelonggaran ini likuiditas di sistem keuangan khususnya perbankan akan menjadi lebih kuat. "Penurunan GWM Rupiah ini akan menambah likuiditas di perbankan sekitar Rp 102 triliun," ujarnya.
Sementara, dengan tidak mewajibkan penambahan giro untuk pemenuhan RIM menurutnya bisa menambah likuiditas sekitar Rp 15,8 triliun.
Artinya, kebijakan yang akan berlaku pada 1 Mei 2020 ini akan menambah bauran kebijakan bank sentral yang telah dilakukan sepanjang tahun 2020.
Sejauh ini, BI memang telah melakukan injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan hampir Rp300 triliun. Injeksi likuiditas dilakukan melalui berbagai kebijakan, seperti pembelian SBN dari pasar sekunder sebesar Rp 166 triliun, penyediaan likuiditas kepada perbankan lebih dari Rp 56 triliun melalui mekanisme term-repo dengan underlying SBN yang dimiliki perbankan, penurunan kembali GWM rupiah sebesar 50 bps yang berlaku efektif 1 April 2020, yang menambah likuiditas sekitar Rp 22 triliun.
Sebelumnya BI juga telah menurunkan GWM pada 2019 dan awal 2020 yang menambah likuiditas sekitar Rp 53 triliun, serta menurunkan GWM valas sebesar 4% untuk menambah likuiditas valas perbankan sekitar US$ 3,2 miliar.
"Respons kebijakan ini kemudian dapat menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan tetap memadai, tercermin pada rerata harian volume PUAB Maret 2020 yang tetap tinggi sebesar Rp 12,8 triliun serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 22,81% pada Februari 2020," sambung Perry.
Baca Juga: BRI pastikan likuiditasnya masih kuat hadapi peningkatan restrukturisasi kredit
Ke depan, Bank Indonesia akan terus memastikan kecukupan likuiditas dan meningkatkan efisiensi di pasar uang, sehingga dapat memperkuat transmisi bauran kebijakan yang akomodatif. Bank Indonesia meyakini peningkatan stimulus fiskal Pemerintah dewasa ini akan makin memperkuat efektivitas transmisi kebijakan injeksi likuiditas yang ditempuh Bank Indonesia kepada sektor riil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News