Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
Mengutip laporan Warta BPK, Agustus 2017, menyebutkan bahwa BPK menemukan pembayaran pensiun serta pengelolaan investasi Asabri yang tidak efektif dan efisien.
Temuan pertama, adanya keterlanjuran pembayaran pensiun punah sebesar Rp 2,3 miliar yang belum disetor oleh mitra bayar sesuai perjanjian kerja sama (PKS). Padahal perusahaan telah mengatur perjanjian kerjasama seperti pengembalian uang pensiun yang terlanjur diturunkan ke mitra bayar serta peserta yang tidak berhak sesuai tagihan Asabri.
Baca Juga: Terseret kasus Jiwasraya dan Asabri, simak rekomendasi analis untuk saham PPRO
Temuan kedua, Asabri telah membeli kepemilikan saham PT WCS di Harvest Time senilai Rp 802 miliar tapi tidak pernah menerima saham sesuai dengan perjanjian nota kesepahaman (MoU).
Seperti diketahui, pada 4 november 2015, dilakukan penandatanganan MoU untuk pembelian saham Harvest Time sebesar 18% atau senilai Rp 1,20 triliun. Penandatanganan ini diwakili oleh Direktur utama Asabri dan disaksikan oleh Kepala Divisi Investasi Asabri.
BPK menemukan sejumlah permasalahan dalam proses penyertaan saham Asabri di sana, di antaranya tidak menunjuk konsultan independen untuk melakukan uji tuntas serta studi kelayakan dalam dalam pembelian saham tersebut.
Selain itu, pembayaran uang muka dalam bentuk penyertaan modal Harvest Time tidak diungkap dalam Revisi Rencana Kegiatan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2015. BPK juga menilai, kesepakatan tersebut bukan dalam rangka pembelian saham PT Hanson Internasional Tbk tetapi saham WcS. Anehnya lagi, porsi jumlah saham yang disepakati tidak sesuai dengan kepemilikan WcS di Harvest Time.
“Tapi Asabri tetap melakukan transfer ke WcS untuk pembelian 18% saham senilai Rp 802 milair meski saham tersebut tidak pernah diterima karena telah dijual kepada pihak lain,” papar laporan tersebut.