Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) akan melakukan audit investigasi terhadap kinerja PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) secara menyeluruh. Lembaga ini membatasi proses audit tersebut hingga tahun Anggaran 2019.
“Audit investigasi tidak sampai tahun 2020. Tetapi sampai tahun 2019 saja,” kata Anggota II BPK Pius Lustrilanang kepada Kontan.co.id, Selasa (21/1).
Baca Juga: PPATK diminta menelusuri aliran dana terkait dugaan korupsi Asabri
Tujuan audit tersebut adalah untuk menghitung jumlah kerugian negara akibat kesalahan pengelolaan dana di Asabri. Serta bertujuan untuk menemukan kecurangan yang nanti akan digunakan serta ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Sayangnya ia tidak mengonfirmasi kabar bahwa BPK telah memeriksa Direktur Utama Asabri Sonny Widjaja beberapa waktu lalu. Pihaknya hanya menegaskan, BPK bakal mencari data dan informasi kepada semua pihak serta instansi yang terkait dengan Asabri.
Sebelumnya, BPK menemukan potensi kerugian perusahaan sebesar Rp 16,7 triliun. Perhitungan kerugian tersebut berasal dari kesalahan penempatan investasi Asabri pada dua instrumen investasi yakni saham dan reksadana.
Jika dirinci kerugian investasi reksadana sekitar Rp 6,7 triliun, sedangkan saham Rp 9,7 triliun. Diperkirakan potensi kerugian berpeluang bertambah berdasarkan perkembangan audit investigatif.
Asal tahu saja, lembaga ini telah melakukan pemeriksaan kinerja Asabri dari penyaluran pembayaran pensiun dan pengelolaan investasi pada tahun anggaran 2015 dan 2016.
Mengutip laporan Warta BPK, Agustus 2017, menyebutkan bahwa BPK menemukan pembayaran pensiun serta pengelolaan investasi Asabri yang tidak efektif dan efisien.
Temuan pertama, adanya keterlanjuran pembayaran pensiun punah sebesar Rp 2,3 miliar yang belum disetor oleh mitra bayar sesuai perjanjian kerja sama (PKS). Padahal perusahaan telah mengatur perjanjian kerjasama seperti pengembalian uang pensiun yang terlanjur diturunkan ke mitra bayar serta peserta yang tidak berhak sesuai tagihan Asabri.
Baca Juga: Terseret kasus Jiwasraya dan Asabri, simak rekomendasi analis untuk saham PPRO
Temuan kedua, Asabri telah membeli kepemilikan saham PT WCS di Harvest Time senilai Rp 802 miliar tapi tidak pernah menerima saham sesuai dengan perjanjian nota kesepahaman (MoU).
Seperti diketahui, pada 4 november 2015, dilakukan penandatanganan MoU untuk pembelian saham Harvest Time sebesar 18% atau senilai Rp 1,20 triliun. Penandatanganan ini diwakili oleh Direktur utama Asabri dan disaksikan oleh Kepala Divisi Investasi Asabri.
BPK menemukan sejumlah permasalahan dalam proses penyertaan saham Asabri di sana, di antaranya tidak menunjuk konsultan independen untuk melakukan uji tuntas serta studi kelayakan dalam dalam pembelian saham tersebut.
Selain itu, pembayaran uang muka dalam bentuk penyertaan modal Harvest Time tidak diungkap dalam Revisi Rencana Kegiatan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2015. BPK juga menilai, kesepakatan tersebut bukan dalam rangka pembelian saham PT Hanson Internasional Tbk tetapi saham WcS. Anehnya lagi, porsi jumlah saham yang disepakati tidak sesuai dengan kepemilikan WcS di Harvest Time.
“Tapi Asabri tetap melakukan transfer ke WcS untuk pembelian 18% saham senilai Rp 802 milair meski saham tersebut tidak pernah diterima karena telah dijual kepada pihak lain,” papar laporan tersebut.
Temuan lainnya, yakni soal pembelian tanah senilai Rp 732 miliar kepada PT BJT menggunakan sertifikat tanah yang merupakan agunan bank. BPK, menilai pembelian tanah tersbeut merupakan cara untuk membatalkan pembelian saham milik Benny Tjokrosaputro di Harvest Times.
Dengan begitu, proses pembelian dan penyelesaian saham tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terlebih, pembelian tanah kavling siap bangun itu tidak sesuai dengan PMK nomor: 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Baca Juga: Dahlan Iskan: Uang Asabri lebih mungkin bisa diselamatkan daripada Jiwasraya
“Pada aturan tersebut disebutkan, perusahaan asuransi hanya diperkenankan untuk berinvestasi pada tanah dan bangunan,” tulis laporan itu.
Perusahaan juga dinilai tidak melakukan studi kelayakan ketika berinvestasi pada pembelian tanah tersebut serta tidak didukung hasil analisa Kantor Jasa Penilai Publik yang diatur dalam standar operasional prosedur (SoP).
BPK juga menemukan ada kejanggalan dalam jangka waktu pengembalian investasi. Dalam kesimpulan rapat Direksi pada 13 Juli 2016 menyatakan, jangka waktu pengembalian investasi selama satu tahun. Ternyata dalam PPJB menyatakan jangka waktu pengembalian investasi dilakukan selama tiga tahun.
Temuan lainnya, PT BTJ juga belum menyerahkan sertifikat tanah ke perusahaan pada telah dilunasi transkasi jual belinya. Lebih anehnya lagi, transfer dana senilai Rp 94,9 miliar dari BTJ ke Asabri justru tidak secara jelas menyebutkan lokasi, nilai dan pembelian tanah tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News