Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Cipta Wahyana
SURABAYA. Setelah mewajibkan bank umum mempublikasikan suku bunga dasar kredit (SBDK) mikro, kini Bank Indonesia (BI) memberlakukan ketentuan yang sama ke bank perkreditan rakyat (BPR). BI berencana meluncurkan aturan pada pertengahan tahun 2013 atau enam bulan setelah aturan SBDK mikro bank umum efektif.
Direktur Kredit, BPR, dan UMKM BI, Zainal Abidin, mengatakan bunga kredit mikro BPR terlalu membebankan debitur. BI mencatat bunga kredit mikro berkisar 36% - 50% pertahun. Hal ini lantaran tingginya bunga simpanan, sekitar di atas 8%, sehingga biaya dana (cost of fund) membengkak. "BPR banyak menyalurkan kredit ke mikro, jadi kami ingin mereka memberikan bunga rendah," katanya, Jumat (30/11).
Berdasarkan data BI per September 2012, BPR mematok bunga kredit mulai 22% sampai 35%. Bunga kredit modal kerja sebesar 31%, kredit investasi sebesar 27% dan konsumsi sebesar 26%. "Untuk meringankan biaya dana, kami akan mendorong kliring BPR dengan BPD sehingga dana mereka dapat berasal dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang bunganya lebih rendah," tambahnya.
Seperti diketahui, BI telah mengatur tingkat SBDK di berbagai sektor kredit. Pada Maret 2011, terbit aturan prime lending rate segmen korporasi, ritel dan konsumer, termasuk di dalamnya kredit pemilikan rumah (KPR) dan non KPR. Pada Januari 2013, BI memberlakukan aturan SBDK mikro bank umum. BI mengklaim, kebijakan ini menurunkan tingkat bunga di kisaran 69 bps - 74 bps.
BI tak menampik biaya operasional BPR terbilang mahal. Misalnya, mengirim pegawai untuk mencari dan memaintance nasabah di pasar-pasar hingga pelosok desa. BPR terpaksa menerapkan pola "jemput bola" agar bisa bersaing dengan bank umum.
Cara kerja berbiaya tinggi ini akan teratasi dengan aturan branchless banking atau agen bank. Kelak, BPR bisa menjadi agen, sebagai kepanjangan tangan bank umum yang tidak mempunyai jaringan di kampung-kampung. "Warung-warung juga bisa menjadi agen bank, tapi membutuhkan kematangan know your customer agar nasabah merasa aman," jelasnya.
Komisaris Utama BPR Surya Yudha Rejasa Madukara - Banjarnegara, Satriyo Yudiarto, berpendapat penetapan bunga kredit tergantung pada prospek debitur dan nilai agunan. Misalkan, debitur potensial namun tidak memiliki agunan, dia bisa dikenakan bunga tinggi. Sedangkan debitur yang memiliki agunan maka bunganya rendah.
Jadi, karena kondisi debitur tidak sama, SBDK mikro kurang relevan. Bunga riil dan SBDK yang terpampang di konter atau website bisa berbeda. "Bunga kredit mikro BPR sulit turun karena kami mengutamakan akses ke perbankan. Debitur tidak mempermasalahkan tingginya bunga kredit, asal mereka dapat pinjaman," ucapnya.
Satriyo menambahkan, jika bunga kredit rendah, penyaluran kredit bisa menurun. Bank tidak mungkin memberikan kredit berbunga rendah ke debitur yang berisiko tinggi. Jadi, daripada rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) melonjak, bank lebih memilih mengerem laju kredit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News