Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) berhasil mendapat tambahan amunisi untuk mempertahankan nilai rupiah. Kali ini datang dari China. Kemarin (23/3), Gubernur BI Boediono dan Gubernur People’s Bank of China (PBC) Zhou Xiaochuan menandatangani perjanjian bilateral currency swap arrangement (BCSA).
Melalui penandatanganan itu, China menaikkan komitmen sebelumnya yang sebesar US$ 4 miliar menjadi RMB 100 miliar atau setara dengan US$ 14,6 miliar (sekitar Rp 175 triliun). Komitmen tukar menukar mata uang ini berlaku tiga tahun dan bisa diperpanjang jika kedua pihak sepakat.
Indonesia bisa menarik valuta asing senilai 20% dari total komitmen itu tanpa syarat apa pun. Namun, jika hendak mencairkan lebih besar dari 20%, China meminta Indonesia harus ikut dalam program pengawasan khusus Dana Moneter Internasional (IMF).
Tapi, sejauh ini memang belum ada tanda-tanda bahwa BI akan benar-benar mencairkan fasilitas itu. Direktur Penelitian dan Riset Ekonomi BI Made Sukada menegaskan, BI hanya akan menarik fasilitas swap apabila memerlukannya untuk menambah cadangan devisa. "Perjanjian swap hanya untuk menjaga kepercayaan pasar," ujarnya (23/3).
Sekadar catatan, cadangan devisa kita saat ini masih lumayan gede, US$ 53,7 miliar. Di atas cadangan devisa ini, Indonesia sekarang memiliki bantal pengaman berupa perjanjian tukar-menukar mata uang senilai total US$ 30,6 miliar, termasuk tambahan degan China tadi. Selebihnya dengan Jepang dan Korea Selatan (Lihat infografik).
Perjanjian swap dengan China kali ini memang agak berbeda dengan komitmen-komitmen sebelumnya. Yang istimewa adalah, komitmen itu dalam mata uang renminbi.
Dan ini bukannya tanpa alasan. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu menjelaskan, perjanjian dalam bentuk renmimbi itu untuk mendukung transaksi perdagangan antara Indonesia dengan China.
Lebih jauh lagi kedua negara akan menjajaki penyelesaian transaksi perdagangan tanpa memakai valuta asing yang tergolong hard currency seperti dolar Amerika Serikat (AS). "Detailnya kami bahas Mei nanti," kata Anggito.
China memang ingin mengurangi eksposurnya pada dolar AS. Dalam esai yang muncul di situs PBC, Gubernur Zhou bahkan mengusulkan penggantian dolar AS sebagai mata uang untuk cadangan devisa dengan sistem baru yang berada di bawah kendali IMF. "Agar kita tidak tergantung pada satu negara dan dunia bisa stabil dalam jangka panjang," tulis Zhou.
China saat ini memiliki cadangan devisa senilai hampir US$ 2 triliun. Negeri ini sangat khawatir kebijakan stimulus di AS akan menggerus nilai dolar. Otomatis, ini akan menggembosi pula cadangan devisanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News