Reporter: Mona Tobing | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) menolak rencana PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA) mengkonversi pembayaran obligasinya menjadi penyertaan saham. Langkah tersebut dianggap merugikan industri dapen yang harus menjadi pihak penanggung dari gagalnya BLTA membayarkan obligasi.
Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2012 BLTA resmi mengumumkan gagal bayar atas sejumlah surat utangnya. Dalam catatan ADPI, sejak BLTA menerbitkan empat seri surat hutang dengan total hutang Rp 1,4 triliun, kewajibannya belum dibayarkan.
Rinciannya, penerbitan obligasi pertama sebesar Rp 750 miliar, obligasi kedua sebesar Rp 350 miliar, sukuk sebesar Rp 200 miliar, dan sukuk kedua senilai Rp 100 miliar. Maret 2015 lalu, perusahaan memangkas nilai obligasi yang telah diterbitkan sebanyak 96% menjadi tersisa 4% yang diterima oleh pemegang obligasi.
Yang memancing reaksi keras ADPI adalah korting nilai obligasi yang dilakukan sepihak plus pembayaran obligasi menjadi penyertaan saham. "Tidak mungkin kami menerima dalam bentuk penyertaan saham yang telah disuspen oleh otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI)," tandas Zain Zainudin , Direktur Utama Angkasa Pura II pada Senin (3/8).
Zain menambahkan, sebenarnya BLTA belum melanggar perjanjian grace periode dari April 2013 sampai April 2017. Namun Maret 2015, BLTA mengajukan amandemen atau restrukrisasi ulang dengan mengkonversi obligasi menjadi penyertaan saham sebesar 4% di BLTA.
Selain itu, langkah tersebut bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 3/POJK.05/2015 yang melarang perubahan investasi Dapen menjadi saham.
"Buat Dapen ini berat karena kami harus menanggung kewajiban BLTA," tandas Zain.
ADPI membeli obligasi BLTA sebesar Rp 139,6 miliar dengan jumlah 46 dapen. Plus ada enam manager investasi yang memegang obligasi BLTA sebesar Rp 99 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News