Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menempuh jalur yang sedikit berbeda dalam merespon tekanan inflasi yang kian menguat akhir-akhir ini. BI sengaja tidak menaikkan suku bunga acuan melainkan mencoba mengendalikan tekanan inflasi dengan cara menyedot kelebihan likuiditas di pasar, yakni dengan menaikkan setoran Giro Wajib Minimum (GWM) bank dari semula 5% menjadi 8%.
Gubernur BI Darmin Nasution menjelaskan, pilihan kebijakan yang ditempuh oleh BI ini bukan berarti instrumen suku bunga acuan akan terus ditinggalkan atau digantikan. "Kami tidak melulu memakai BI rate sebagai instrumen, tapi juga menggunakan instrumen GWM. Ini adalah satu instrumen yang mungkin dahulu tidak terlalu banyak digunakan namun saat ini di berbagai negara Asia banyak digunakan," ujarnya usai konferensi pers di Gedung BI Jakarta, Jumat (3/9).
Meski demikian, Darmin menegaskan, dengan putusan BI memilih merespon tekanan inflasi dengan menaikkan GWM ketimbang menaikkan BI rate, bukan berarti ke depan BI akan seterusnya menggeser BI rate sebagai instrumen pengendali moneter.
Menaikkan GWM dari 5% menjadi 8% dinilai sebagai cara paling tepat mengingat saat ini kondisi sistem keuangan masih amat dibanjiri ekses likuiditas. Terlebih pasca pelonggaran aturan GWM mrespon terjadinya krisis 2008 lalu. "Tekanan inflasi sudah naik dalam dua bulan terakhir sehingga kondisi ekses likuiditas ini harus dikelola dengan baik. Dengan kebijakan ini kita bisa tarik ekses likuiditas sebesar Rp 50 triliun," ujar Deputi Gubernur BI Budi Mulya.
Namun, meski sudah ditarik dengan kebijakan tersebut, ekses likuiditas di sistem perbankan masih cukup besar yakni di kisaran angka Rp 300 triliun. "Setelah GWM primer beserta GWM sekunder, saya kira (ekses likuiditas) di atas Rp 300 triliun," imbuh Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News