Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) berencana memperluas penggunaan insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) pada awal tahun 2025. Rencana tersebut diumumkan kala laju pertumbuhan kredit sedang mengalami perlambatan.
Seperti diketahui, hingga September 2024, pertumbuhan kredit perbankan hanya mencapai 10,8% secara tahunan (YoY). Ini menjadi pertumbuhan paling lambat sepanjang tahun berjalan.
Adapun, perluasan insentif dari bank sentral yang bakal berdampak pada pemangkasan kewajiban rasio giro wajib minimum (GWM) ini menyasar sektor-sektor padat karya. Mengingat, pertumbuhan kredit di sektor tersebut memang tak sebesar sektor padat modal.
Baca Juga: BI Sebut Insentif Likuiditas Makroprudensial Dorong Pertumbuhan Kredit
Ambil contoh, kredit di sektor pertanian dan industri pengolahan di periode yang sama hanya tumbuh sekitar 7%. Sementara, kredit di sektor perdagangan sedikit lebih baik dengan tumbuh 8%.
Sebagai perbandingan, kredit di sektor pertambangan masih mampu tumbuh sekitar 26,7% dan dilanjutkan kredit ke sektor pengangkutan, telekomunikasi yang juga tumbuh hingga 16%.
“Kami harapkan juga dengan adanya refocusing ke sektor yang menyerap tenaga kerja diharapkan ini akan membantu upaya mendorong penciptaan lapangan kerja,” ujar Deputi Gubernur BI Juda Agung kepada Kontan, Kamis (17/10).
Baca Juga: Meski BI Guyur Insentif Likuiditas, Tapi Tak Semua Bank Bisa Memanfaatkannya
Ia pun bilang bahwa pemberian insentif ini nantinya akan beberapa treshold dari masing-masing sektor. Di mana, pada intinya insentif ini untuk mendorong kredit yang lesu.
Juda juga berharap nantinya insentif ini bakal dimanfaatkan oleh bank, terkhusus untuk benar-benar disalurkan sebagai kredit. Mengingat, insentif ini juga sebelumnya sangat dimanfaatkan oleh bank.
Ia mencontohkan di September 2024, capaian insentif yang disalurkan BI telah mencapai Rp 256,06 triliun setara dengan 3,44% dari dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Ini naik dari akhir Oktober 2023 yang saat itu baru sekitar Rp 137,7 triliun.