kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dua kebijakan BI yang saling bertentangan


Jumat, 03 September 2010 / 18:21 WIB
Dua kebijakan BI yang saling bertentangan


Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) hari ini mengumumkan tiga kebijakan besar sekaligus. Pertama, BI memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan alias BI rate di level 6,5% ke-13 kalinya. Kedua, BI menaikkan tingkat setoran Giro Wajib Minimum (GWM) primer yang harus disetorkan perbankan dari semula sebesar 5% menjadi 8%, yang ditujukan untuk menyedot ekses likuiditas dalam rangka mengantisipasi potensi tekanan inflasi ke depan. Ketiga, otoritas moneter dan perbankan juga merilis kebijakan penentuan GWM berdasarkan Loan to Deposit Ratio (LDR) untuk menggiring bank agar lebih giat menyalurkan kredit ke sektor riil.

Bila diperhatikan sekilas, dua kebijakan BI terakhir terkesan saling bertentangan secara substansi. Penaikan GWM Primer yang ditujukan untuk menyedot ekses likuiditas sudah pasti bakal mengurangi tingkat kelonggaran likuiditas bank. Mengingat bank harus membayar GWM lebih besar. Namun, di saat yang sama kebijakan GWM-LDR justru memaksa bank untuk menggenjot kredit di mana hal itu sudah barang tentu membutuhkan ketersediaan likuiditas yang cukup.

BI bukannya tidak menyadari campur aduknya sinyal kebijakan yang dilempar ke publik ini. "Kalau anda lihat sinyal (kebijakan) ini kemana, kok agak bercampur (mixed)," ujar Gubernur BI Darmin Nasution dalam konferensi pers di Gedung BI Jakarta, Jumat (3/9).

Darmin menjelaskan, perkembangan perekonomian Indonesia saat ini memang banyak menyuguhkan hal-hal yang bergerak saling bertentangan satu sama lain. Melihat hal itu, Darmin bilang, BI tidak bisa hanya mengambil satu langkah kebijakan saja mengingat permasalahan yang harus diatasi lebih dari satu hal. "Jika kita melihat respons dari sektor riil (terhadap kredit) atau sisi supply side selama ini masih agak lambat. Kalau hanya melihat itu maka kebijakannya adalah bagaimana agar sektor riil bisa merespon dengan cepat. Namun, hal ini bisa bertentangan dengan aspek lainnya," jelasnya.

Di saat yang sama, sistem keuangan memiliki kelebihan atau ekses likuiditas yang luar biasa besar. Di mana jika ekses ini tidak disedot maka ancaman inflasi akan kian besar. Kepentingan BI untuk menahan percepatan ekspektasi inflasi ini dinilai jauh lebih mendesak saat ini. Lebih-lebih, saat ini inflasi inti sudah mulai merambat naik dengan cepat. "Inflasi inti sudah mulai cepat artinya kenaikan inflasi sudah relatif besar maka itu harus direspon. Jika kenaikan inflasi inti lebih cepat dari biasanya maka kami harus perhatikan likuiditas," papar Darmin.

Namun, BI tidak bisa serta merta mengeluarkan kebijakan untuk menyedot ekses likuiditas dengan frontal, karena hal itu pasti mempengaruhi keleluasaan bank dalam menyalurkan kredit. Sedangkan BI ingin bank agar lebih giat menyalurkan kredit. "Jika kami menarik ekses likuiditas secara pemanen itu sama artinya kami mengurangi kapasitas bank untuk memberikan kredit, padahal yang kami inginkan adalah agar sektor riil atau sisi supply side bergerak melalui pemberian kredit," papar Darmin.

Maka itu, BI mengeluarkan dua kebijakan tersebut untuk mengakomodasi dua tujuan yang sama-sama penting yaitu pengendalian inflasi dan mendorong bank menyalurkan kredit. Namun, BI memberikan sequence atau jarak waktu. Untuk kebijakan GWM Primer berlaku efektif mulai 1 November mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×