Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengkaji besaran fee yang dibayarkan perbankan untuk OJK, yakni sebesar 0,03%-0,05% dari aset. Secara bertahap persentase fee yang dibayarkan bank tersebut naik menjadi 0,05% di tahun 2016 nanti.
Achmad Baiquni, Direktur Keuangan BRI mengungkapkan, penerapan besaran fee untuk OJK itu bakal menambah beban biaya dana, alias cost of fund perbankan. Sebab, selain dikenakan fee iuran OJK, industri perbankan dikenakan premi LPS yang besarannya dipukul rata, yaitu 0,2% per tahun dari total dana pihak ketiga (DPK) yang harus disetor perbankan.
"Pasti menambah (cost of fund). Lumayan juga penambahannya, karena DPK kami kan besar," ujar Baiquni di Gedung OJK, Jakarta, Kamis (2/1).
Baiquni menambahkan, besaran fee untuk OJK yang akan dikenakan, yaitu antara 0,03%-0,05% memiliki dampak relatif signifikan atas cost of fund individu bank. Sebab, seperti premi LPS, perbankan harus membayar keseluruhan premi dan fee, meski tidak semua dijamin oleh lembaga tersebut.
"Kalau dibilang signifikan, itu relatif. Sama seperti LPS, kita harus bayar semua padahal tidak semua dijamin. Tapi ya sudahlah ya," ujar Baiquni.
Senada, Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri Pahala Nugraha Mansury bilang, penerapan fee OJK akan berdampak pada tambahan biaya dana bank. Namun, menurutnya hal itu tidak signifikan besarannya.
"Pasti akan ada tambahan biaya, tapi tidak terlalu signifikan. Kami perlu menghitung dulu untuk pengaruhnya terhadap cost of fund," ujar Pahala.
Lebih lanjut Pahala menilai, industri perbankan menaruh harap dengan fee OJK ini dapat memberikan tambahan pengaturan dan pengawasan terkait dengan industri jasa keuangan khususnya perbankan.
Selain itu, diharapkan juga dapat mengakomodir kebutuhan dan kepentingan para pelaku industri perbankan. Pahala berharap, dalam waktu dekat ketentuan besaran premi LPS bisa berkurang.
"Mungkin memang akan ada tambahan biaya dari sisi pengawasan, tetapi kami juga berharap premi LPS bisa berkurang," jelasnya.
Sekadar mengingatkan, berdasarkan Undang-Undang No. 7 /2009, bank harus membayar premi kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Perhitungan besaran premi itu dilakukan sendiri oleh bank atau self assessment.
LPS yakin, penerapan aturan ini akan mendorong manajemen bank memperbaiki tingkat kesehatan mereka. Dalam sistem premi diferensial, LPS akan mematok premi sebesar 0,15%-0,35% tergantung tingkat kesehatan bank.
Bank yang kurang sehat akan membayar premi 0,5% lebih mahal ketimbang bank yang lebih sehat. Namun, bank keberatan dengan tarif hingga 0,35%.
Namun LPS akhirnya mengalah. Dalam sistem baru ini, bank akan digolongkan dalam lima kelompok. Kelompok 1 merupakan bank yang paling sehat dan bayar premi terendah. Sedangkan kelompok 5 menjadi bank terburuk dan harus bayar premi lebih mahal.
Pengelompokan bank berdasarkan sistem pembobotan dan skor. Sebesar 60% diambil dari kriteria kualitatif dan 40% dari kuantitatif. Kriteria kualitatif berupa tingkat kesehatan seperti peringkat komposit berdasarkan risk-based bank rating (RBBR) yang ditetapkan pengawas Bank Indonesia (BI) dan penilaian ketaatan terhadap program penjaminan oleh LPS.
Sedangkan kriteria kuantitatif terdiri dari rasio-rasio keuangan pokok bank yang mewakili permodalan, aspek kualitas asset, aspek rentabilitas dan aspek likuiditas. Sistem premi diferensial (SPD) bagi perbankan pada tahun 2015 mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News