Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi kepada Direksi dan Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) pasca ditemukannya kejanggalan dalam laporan keuangan perusahaan pada tahun buku 2018. Sanksi tersebut diberikan kepada para Direksi dan Komisaris perusahaan yang menandatangani laporan keuangan tersebut.
Direktur Komisioner Pengawas Pasar Modal III Fakhri Hilmi menjelaskan, pihaknya mengenakan denda masing-masing sebesar Rp 100 juta kepada seluruh direksi Garuda Indonesia karena melanggar Peraturan Bapepan Nomor VIII.G.11 tentang Tanggung Jawab Direksi atas Laporan Keuangan.
Sanksi direksi semakin berat. Regulator kembali menjatuhkan sanksi kepada anggota direksi bersama dewan komisaris Garuda Indonesia. Karena mereka harus menanggung denda sebesar Rp 100 juta secara bersama-sama atas pelanggaran Peraturan OJK Nomor 29/POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
“Ini dibayar secara kolektif oleh Direksi dan Komisaris yang menandatangani laporan keuangan. Jadi dibayar secara tanggung renteng, di mana denda Rp 100 juta itu dibagi-bagilah ke mereka,” kata Fakhri di Jakarta, Jumat (28/6).
Selain Direksi dan Komisaris, OJK juga memberikan sanksi administratif sebesar Rp 100 juta kepada perusahaan penerbangan ini. Pertimbangan sanksi tersebut berasal dari masukan beberapa lembaga seperti Bursa Efek Indonesia (BEI), Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) Kemkeu, Dewan Standar Akuntansi Keuangan dari Ikatan Akutan Indonesia dan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).
Laporan keuangan Garuda Indonesia menjadi polemik pasca dua Komisaris perusahaan yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak menandatangani laporan keuangan tersebut. Di mana perusahaan berkode sandi GIAA ini memasukkan pendapatan dari perjanjian kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) sebesar US$ 239,94 juta serta PT Sriwijaya Air US$ 28 juta beserta PPN US$ 2,8 juta ke dalam tahun buku 2018.
Dana tersebut masih bersifat piutang tapi sudah diakui oleh manajemen Garuda Indonesia sebagai pendapatan. Alhasil, secara mengejutkan, pada 2018, maskapai BUMN meraih laba bersih US$ 5,02 juta. Padahal seharusnya perusahaan menelan kerugian sebesar US$ 244,96 juta.
Kedua Komisaris tersebut menganggap laporan keuangan tahun lalu telah menimbulkan misleading yang berdampak material karena mengubah posisi rugi signifikan menjadi laba. Selain itu, hal ini berpotensi besar untuk penyajian kembali laporan keuangan tahun buku 2018 yang dapat merusak kredibilitas perusahaan.
Dampak lainnya dari pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan GIAA baik PPh maupun PPN yang seharusnya belum waktunya. Selain itu dapat menimbulkan adanya beban cashflow bagi perusahaan.
“Laporan (keuangan) tidak berubah kan sudah diterima di RUPS, dengan catatan dua dissenting opinion komisaris itu saja secara hukumnya, kurang lebih begitu,” kata Chairal Tanjung.
Sementara itu, PT Citilink Indonesia yang menandatangani Perjanjian Kerjasama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan dengan PT Mahata Aero Teknologi pada tanggal 31 Oktober 2018 beserta perubahannya menjelaskan sudah ada realisasi pemasangan wifi di dalam armadanya.
“Kami baru realisasikan satu (pesawat), tahun ini targetnya pasang delapan pesawat. Nantinya pesawat Garuda, Citilink dan Sriwijaya akan dipasang,” ujar Juliandra, Direktur Utama Citilink.
Sedangkan Gatot Trihargo, Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Survei dan Konsultasi Kementerian BUMN menjelaskan bahwa adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua komisaris GIAA itu merupakan sesuatu yang wajar karena berkaitan dengan fungsi pengawasan.
“(dissenting opinion) Itu kekhawatiran seandainya itu tidak (berjalan), bagus juga masukannya,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News