Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Kalangan perbankan mengaku siap-siap saja bila Bank Indonesia mewajibkan transparansi prime lending rate sebagaimana sudah kerap diwacanakan. Namun, bankir berharap kebijakan tersebut bisa dijalankan dengan tegas. Artinya, ada mekanisme punishment atau sanksi yang jelas ketika ada bank yang bertindak tidak patuh terhadap kebijakan tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama Bank BNI Gatot Suwondo. Menurut Gatot, kalaupun otoritas meminta bank untuk memublikasikan bunga kredit kepada masyarakat nasabah, mestinya itu diberlakukan dengan mekanisme sanksi yang jelas dan tegas. Tidak sekadar formalitas saja di mana
ketika terjadi pelanggaran ujung-ujungnya dibiarkan.
"Kalau mau efektif, ya atur saja bunga tidak boleh melebihi bunga wajar LPS. Apa artinya, rate deposito di papan (pengumuman) tertulis 7% lalu ada yang kasih bunga deposito 8%-9% di belakang? Jika mau
tegas, ya harus tegas bahwa suku bunga tidak boleh lebih dari LPS. Jika ada yang melebihi maka kena sanksi. Itu baru efektif," ujarnya usai mengikuti rapat di DPR, Kamis (23/9).
Pendapat Gatot ini senada dengan keluhan beberapa bankir sebelumnya yang meminta BI lebih tegas mengawasi pelaksanaan kesepakatan 14 bank besar untuk memberikan bunga deposito maksimal sesuai bunga wajar LPS yakni 7%.
Gatot menambahkan, rencana BI mewajibkan perbankan mengumumkan prime lending rate atau suku bunga kredit dasar sebelum diperhitungkan dengan premi risiko pada akhirnya akan menggiring kompetisi di pasar akan semakin ketat. "Terbitkan saja aturan itu, paling nanti terjadi perang harga," ujarnya.
Sebelumnya Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono menuturkan kebijakan prime lending rate pada prinsipnya ditujukan untuk mendorong bank agar lebih transparan sehingga kompetisi di antara sekian ratus bank di Indonesia bisa digelar lebih adil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News