Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. GBG sebuah perusahaan teknologi global dalam manajemen fraud dan compliance, verifikasi identitas dan intelijen data berbasis lokasi merilis riset yang mengatakan bahwa tingkat fraud atau kejahatan penipuan di Indonesia tidak menunjukkan adanya angka penurunan.
Bahkan, kejahatan dengan model money mule diprediksi akan meningkat drastis di 2020-2021 yang biasanya berdampak pada konsumen sektor perbankan dan finansial.
Money mule dinilai sebagai tipe fraud terbesar kedua yang memiliki dampak signifikan kepada institusi finansial di Indonesia tahun 2019. Institusi finansial di Indonesia harus mewaspadai tipe penipuan ini karena diprediksi akan meroket hingga 68% pada 2020-2021.
Money mule adalah jenis penipuan yang memadukan scam dengan first party frud dan penipuan ini sulit untuk dideteksi. Salah satu contoh penipuan money mule biasanya penipu akan mengirimkan SMS dan meminta korban untuk membuka rekening bank dan mengelola transaksi.
Baca Juga: Demi Mendorong Inklusivitas, Industri Perbankan Menyiapkan Sistem Open Banking
GBG juga menemukan bahwa Pemalsuan Identitas (55%) dan Pencurian Identitas (53%) masuk bersama-sama dengan money mule dalam jenis fraud dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di Indonesia tahun ini.
Melihat hal ini, institusi finansial di Indonesia disarankan untuk lebih menjaga keamanan digital nasabahnya.
“Kebutuhan untuk segera melakukan transisi dan mendukung adopsi layanan keuangan digital merupakan tantangan terbesar bagi institusi finansial di Indonesia," ujar June Lee, APAC Managing Director GBG.
Lee melihat Orang Indonesia pada umumnya sangat terbiasa bertatap muka secara langsung; Melalui penelitian tersebut, Unbanked, atau segmen yang secara historis tidak menggunakan atau tersentuh layanan perbankan, juga memproyeksikan tingkat pertumbuhan terbesar sebagai fokus segmen pelanggan baru oleh institusi finansial lokal.
Hal Ini bukan hanya tentang membuat konsumen beralih menuju adopsi digital, tetapi juga upaya organisasi agar memiliki sarana yang mampu secara inovatif memadukan penilaian risiko kredit seluler dengan teknologi penipuan dan menjembatani kurangnya data.
Baca Juga: Terkait Jiwasraya, Kejagung periksa bos OSO Manajemen Investasi
"Tujuan kami adalah menciptakan keseimbangan untuk meniadakan maraknya pola penipuan digital dan menciptakan lingkungan perbankan digital yang aman bagi masyarakat Indonesia,” ujar Lee.
Pada saat ini, institusi finansial di Indonesia diperkirakan akan menganggarkan biaya sebesar US$ 88,9 juta untuk berinvestasi pada teknologi pencegahan fraud baru di 2020. Hal ini membuat Indonesia sebagai negara ketiga dengan budget tertinggi untuk mencegah fraud di Asia Pasifik, setelah Thailand dan China.