Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Kegiatan operasi moneter dengan instrumen suku bunga tak mampu meredam gejolak krisis keuangan dunia. Kebijakan menaikan atau menurunkan suku bunga justru merangsang gejolak dan menimbulkan spekulasi.
Penilaian macam itu akan disampaikan ahli keuangan Steve Hanke dalam kuliah umum yang berlangsung di Universitas Pelita Harapan pada 18 Februari 2009 mendatang. "Inilah kekeliruan otoritas moneter di Amerika Serikat (AS)," kata Hanke yang merupakan guru besar Universitas John Hopkins, AS.
Hanke menuturkan, The Federal Reserves yang bertugas mengawal moneter AS, telah memangkas bunga acuan hingga mendekati 0%, tepatnya 0%-0,2%. "Menurut teori ekonomi moneter, ini memang betul. Tetapi, bisa dipertanyakan efektivitas langkah tersebut dalam meredam krisis global," ujar Hanke.
Mantan penasehat ekonomi Presiden Soeharto dan Presiden Ronald Reagen ini menyimpulkan, kebijakan bunga justru membawa mudarat. Naik-turunnya bunga akan mengundang banyak transaksi yang berbau spekulasi. Jika spekulasi sudah marak, yang muncul kemudian adalah kepanikan di pasar. "Kepanikan itu lantas menggelembung lalu meledak dari dalam dengan sendirinya. Inilah penyebab krisis," ulas Hanke.
Dalam kuliah di Pelita Harapan, Hanke juga akan membahas kondisi ekonomi terkini Indonesia dan apa jurus pemulihan yang paling efektif.
Ia menilai, penurunan bunga bukanlah obat yang pas bagi ekonomi Indonesia. Hanke mengingatkan, Bank Indonesia sudah memangkas bunga acuan sebesar 75 basis poin sejak Desember 2008 hingga Februari tahun ini. Namun, penurunan ini tidak jitu karena nilai seluruh aset keuangan masih terpuruk.
Ujung-ujungnya, Hanke menyarankan Indonesia perlu mempertimbangkan pemberlakuan bunga tetap. "Dan, membiarkan kebijakan moneter disetel pada modus autopilot," imbuhnya.
Mantan Gubernur BI Adrianus Mooy menambahkan, tren penurunan suku bunga belum berdampak pada kehidupan masyarakat banyak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













