Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hasil pengembangan investasi dari dana yang dikelola oleh dana pensiun di Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain. Ketua Umum Perkumpulan DPLK Nur Hasan menyatakan struktur portofolio investasi dana pensiun di Indonesia banyak didominasi oleh portofolio obligasi dan portofolio pasar uang.
Ia menyatakan rasio imbal hasil atau investment rate of return dana pensiun Indonesia sepanjang 2019 hanya 4,8. Padahal ia menyatakan tahun lalu perekonomian Indonesia masih tumbuh positif.
Bahkan ia menyatakan, rasio imbal hasil dana pensiun Turki sepanjang tahun lalu mencapai 10,8. Meskipun negara Timur Tengah itu telah mengalami resesi pada 2019.
“Hipotesis yang saya bangun, rendahnya hasil pengembangan investasi dana pensiun bisa jadi karena tradisional. Alokasi dana pensiun Indonesia ditempatkan kepada obligasi dan pasar uang,” ujar Nanang panggilan akrab Nur Hasan pada diskusi virtual, Kamis (5/11).
Baca Juga: Biar aman, OJK sarankan dana pensiun manfaatkan EBA sebagai instrumen investasi
Ia menjelaskan secara rinci instrumen paling besar yang dipilih oleh industri DPLK ada deposito berjangka, SBN, obligasi korporasi, reksadana dan saham. Hal inilah yang menyebabkan masih rendahnya imbal hasil dana pensiun di Indonesia.
Asal tahu saja, hingga September 2020, hasil investasi dana pensiun mencapai Rp 13,76 triliun. Nilai itu turun 14,37% yoy dari Rp 16,07 triliun di September 2019.
September 2020, Dana Pensiun telah mengelola aset investasi senilai Rp 284,02 triliun. Nilai itu tumbuh 2,84% year on year (yoy) dibandingkan posisi yang sama tahun lalu sebesar Rp 276,18 triliun.
Sedangkan hingga saat ini, dana pensiun baru mengoleksi EBA sebesar Rp 805,63 miliar. Jauh tertinggal dibandingkan aset berisiko tinggi seperti saham sebesar Rp 23,70 triliun.
Adapun instrumen paling besar ada pada deposito berjangka senilai Rp 80,95 triliun. Lalu diikuti oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 70,73 triliun dan obligasi korporasi sebanyak Rp 62,46 triliun.
Oleh sebab itu, Nanang menyatakan industri dana pensiun memerlukan investasi jangka panjang agar investasi lebih optimal. Salah satunya dengan masuk ke dalam instumen EBA yang diperbolehkan oleh POJK 3 tahun 2015 tentang dana pensiun.
“Diperbolehkan investasi dalam bentuk EBA namun diperlukan akses oleh dana pensiun sebagai pilihan investasi dari peserta. Juga perlu adanya literasi dan edukasi kepada peserta,” papar Nanang.
Secara industri, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menguasai pangsa pasar industri Dana Pensiun Lembaga Jasa Keuangan (DPLK). Berdasarkan data internal BNI, bank dengan sandi saham BBNI ini menguasai 25,8% dari total dana kelolaan DPLK.
Lalu Manulife sebesar 19,3%, BRI sebesar 13,9%, AIA sebanyak 8,8%, dan AXA Mandiri memiliki 8,6% pangsa pasar. Sedangkan pemain lainnya memiliki 23,7% pangsa pasar bisnis DPLK.
Baca Juga: Jadi induk holding BUMN asuransi, IFG bakal disuntik Rp 22 triliun
“Bisnis di industri (DPLK) ini masih dikuasai oleh lima besar ini. Harapannya, pelaku yang lain semakin agrefis. Kita perkumpulan DPLK terbuka untuk saling melakukan pembelajaran. Ada tantangan juga baik dari segi regulasi maupun jumlah peserta,” papar Wakil Ketua 3 Perkumpulan DPLK Saktimaya Murti pada pekan laku.
Ia menyatakan telah terjadi perubahan jumlah pelaku DPLK dari 25 penyelenggara di 2018 menjadi 23 penyelenggara di 2019 dan 2020. Seiring dengan itu, jumlah peserta DPLK juga turun dari 3,29 juta di 2018 menjadi 3,01 juta di 2019.
Di era transformasi digital sudah wajib bagi pelaku DPLK melakukan kegiatan pemasaran secara digital. Antar pelaku DPLK itu tidak ada bersaing, musuh utama di dana pensiun itu ialah perilaku konsumtif masyarakat maupun industri investasi yang lain,” tambah Sakti yang juga menjabat sebagai Pemimpin Unit DPLK BNI.
Selanjutnya: Tahun depan, gaji PNS tidak naik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News