Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Holding BUMN di sektor ultra mikro dinilai akan mampu membantu pemerintah dalam mengatasi keberadaan rentenir dan pinjaman online ilegal yang kian marak. Hal ini bisa dilakukan melalui produk dan layanan keuangan yang lebih terjangkau oleh masyarakat dan pelaku usaha.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo mengatakan integrasi ekosistem BUMN di sektor ultra mikro atau holding ultra mikro dapat menjadi salah satu wadah untuk mempercepat upaya mengatasi permasalahan pinjaman online ilegal yang cukup meresahkan tersebut.
"Pelaku industri memiliki kemampuan lebih baik dalam menanggulangi pinjaman online ilegal ini, mereka jauh lebih tanggap. Holding ultra mikro, juga rasanya memiliki semangat yang sama," ucap Imam dalam keterangan resminya, Senin (24/5).
Imam menjelaskan banyak pihak-pihak yang tak bertanggung jawab mencoba untuk memanfaatkan data dan informasi keuangan masyarakat secara serampangan. Ia menilai pemerintah dan otoritas harusnya mampu membuat sebuah sistem yang lebih terintegrasi sehingga dapat menanggulangi masalah lebih cepat.
"Bagaiamana pun masyarakat harus memiliki tempat untuk dapat bertanya 24 jam," imbuh Imam Prasodjo.
Baca Juga: Hindari pelanggaran penagihan utang, AFPI: Debt collector fintech disertifikasi
Sementara itu, Ketua Umum Asosisasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun sebelumnya mengungkapkan bahwa holding ultra mikro yang nantinya beranggotakan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT Pegadaian (Persero), dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) akan sangat membantu pelaku UMKM.
"Penggabungan [holding] ini untuk disegerakan karena ini bagus sekali. Saya berharap sekali akan banyak produk yang bisa mendisrupsi bisnis para rentenir. Saya percaya holding ini bisa buat produk itu " kata Ikhsan.
Langkah pemerintah dalam mendorong pembentukan holding ultra mikro, menurut Ikhsan, sudah tepat untuk menciptakan layanan keuangan secara lebih terjangkau. Dengan holding, Ikhsan melihat ada integrasi yang sangat kuat sehingga mendorong efisiensi bisnis entitas holding yang nantinya ditransfer ke pelaku ultra mikro.
"Ini tentu langkah sangat bagus. Saya percaya holding ini bisa buat produk keuangan lebih terjangkau," tambah Ikhsan
Ikhsan menjelaskan pemerintah telah berkomitmen untuk meningkatkan efisiensi dengan penggunaan teknologi informasi yang lebih baik. Hal ini akan membuat perhitungan risiko di sisi internal holding menjadi lebih presisi, sehingga sebagian pelaku mikro sudah dapat memiliki rating pembiayaan lebih baik.
Selain itu, Ikhsan menambahkan, holding ini juga akan banyak memangkas banyak biaya tak perlu dalam operasional sehingga memperbesar kemampuannya dalam memberi insentif tambahan kepada banyak pelaku mikro. Di luar itu, pemerintah tetap berkomitmen untuk memberi banyak keringanan fiskal pada pelaku mikro melalui para anggota holding.
"Rencana ini sangat baik. Kami sangat mendukung. Kami justru berharap lebih banyak sosialisasi dilakukan kepada pelaku ultra mikro secara langsung agar timbul optimisme," sebutnya.
'Seperti diketahui, saat ini masih ada sekitar 30 juta pelaku UMKM yang belum terlayani lembaga keuangan formal. Sebanyak 5 juta di antaranya masih mengandalkan layanan para lintah darat atau rentenir untuk memenuhi kebutuhannya.
Pelaku UMKM dan usaha ultra mikro yang belum tersentuh lembaga keuangan formal ini harus menanggung beban berat selama ini, karena kerap mendapat pinjaman berbiaya tinggi hingga 100-150 persen per tahun.
Kasus Pinjol masih marak
Kasus pinjaman online ilegal hingga saat ini memang masih terus meresahkan masyarakat. Baru-baru ini, seorang guru TK di Malang Jawa Timur, dikabarkan diteror 24 debt collector pinjaman online (pinjol) yang 19 diantaranya merupakan pinjol ilegal.
Selain itu, Satgas Waspada Investasi (SWI) hingga April 2021 telah memblokir sebanyak 3.193 fintech pendanaan ilegal sejak dibentuk pada 2018. Per April 2021 sendiri, SWI menemukan sebanyak 86 fintech lending ilegal atau yang akrab disebut dengan pinjol ilegal tersebut.
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansah mengatakan bahwa maraknya pinjol ilegal ini dikarenakan kebutuhan kredit masyarakat saat ini tergolong masih banyak sedangkan kebutuhan tersebut juga belum terlayani oleh lembaga keuangan tradisional.
“Dari fintech lending yang legal pun tahun lalu saja hanya menyalurkan hingga Rp 74 triliun. Jika dibandingkan dengan kebutuhan kredit berdasarkan data OJK yang mencapai Rp 1.650 triliun per tahun. Itu berarti kita masih mengisi kredit gap itu sekitar 4% hingga 5%,” ujar Kuseryansah dalam acara virtual, akhir pekan lalu.
Oleh karena itu, Kuseryansyah menilai kondisi tersebut memberi dampak pada kehadiran pinjol ilegal yang seolah-olah bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Menurutnya, dengan kebutuhan kredit yang besar tersebut membuat masyarakat mudah mengambil kredit di pinjol ilegal.
“Karena pangsa pasarnya besar, produk apapun meskipun bunganya besar juga pasti laku. Masyarakat tidak terlalu memikirkan kesana yang penting kebutuhannya terlayani,” tambahnya.
Selain itu, Kuseryansyah juga bilang salah satu penyebab adanya pinjol ilegal ini yang terus marak karena literasi keuangan yang kurang. Hal ini membuat masyarakat dinilai belum bijak dalam mendapatkan layanan jasa keuangan tersebut.
“Masyarakat kita banyak yang menggunakan layanan keuangan termasuk yang digital tapi mereka tidak menngerti apa sesungguhnya guna pinjaman tersebut dan bagaimana cara yang bijak untuk menggunakan pinjaman tersebut,” tutur Kuseryansyah.
Selanjutnya: Seorang guru hampir bunuh diri karena pinjol ilegal, hindari perusahaan ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News