Reporter: Ferrika Sari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam beberapa bulan terakhir, tren gagal bayar koperasi simpan pinjam semakin menyeruak ke permukaan. Terdapat tiga koperasi yang sudah berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sedang berupaya mengajukan perdamaian melalui restrukturisasi utang kepada nasabah seperti Koperasi Hanson Mitra Mandiri (HMM), KSP Indosurya Cipta dan KSP Alto.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai masalah koperasi di Indonesia memang rumit. Secara umum, karena kurangnya pengawasan dari Kementerian Koperasi dan UKM serta suku dinas koperasi di daerah - daerah.
“Pengawasan kurang sehingga pengelolaan dana kurang transparan. Jadi, kalau dana investasinya besar bisa mengalir ke mana-mana sehingga penyalahgunaan bisa terjadi karena kurang pengawasan dari lembaga terkait,” kata Eko kepada Kontan.co.id, Minggu (17/5).
Baca Juga: Kasus KSP Indosurya Cipta, Kepala PPATK: Pemeriksaan Tahap Pertama Sudah di Bareskrim
Dibandingkan bank, pengawasan koperasi dinilai lebih longgar. Pertama, dari sisi kelembagaan, pembentukan koperasi lebih mudah karena hanya perlu diisi oleh beberapa orang anggota atau tidak lebih dari 10 orang.
Kedua, usaha koperasi berbeda dengan bank yang sudah diatur secara ketat atau high regulated dari Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya saja, jika bank menetapkan bunga terlalu tinggi maka bisa ditegur oleh OJK, BI dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
“Kalau bunganya tinggi, pasti ditanya kenapa bisa tinggi sekali. Karena rasio bunganya dinilai terlalu tinggi maka disemprit,” ungkapnya.
Berbanding terbalik dengan koperasi. Dengan pengawasannya yang lemah, pemegang saham atau pengurus koperasi bisa saja menetapkan bunga lebih tinggi dari bank untuk menarik minat masyarakat.
Terlebih, mereka tidak diwajibkan menyampaikan laporan keuangan secara rutin maupun real time seperti bank. Jika terdapat persoalan di koperasi, kementerian atau lembaga terkait berpotensi memberikan sanksi tapi muncul pertanyaan apakah akan ditindaklanjuti secara cepat.
“Kalau ada lembaga khusus yang menangani permasalahan koperasi seharusnya lebih bersifat profesional. Tapi pengawasan di kementerian justru terlalu birokratis sehingga kurang rasa perhatian terhadap kondisi keuangan koperasi,” jelasnya.
Baca Juga: Kemenkop: KSP Indosurya & Hanson Beroperasi Seperti Bank dan Janjikan Return Tinggi
Kementerian atau dinas koperasi juga dinilai terbatas mengawasi ribuan koperasi yang tersebar hingga ke daerah – daerah. Hal ini semakin diperparah oleh keamanan dana anggota tidak dijamin oleh lembaga khusus seperti LPS.
Maka tak mengherankan muncul penyimpangan dalam pengelolaan dana koperasi akibat kelonggaran pengawasan. Kondisi tersebut dimanfaatkan koperasi besar dengan mengiming-imingin investasi bondong ke nasabah.
“Mungkin dari awal tidak berniat jahat tetapi setelah dapat untung dan tidak bisa mengembalikan dana nasabah, mereka lepas tangan,” tambahnya.
Ketika anggota merasa dirugikan, kemudian mereka memprosesnya hal ini secara hukum ke pengadilan agar uangnya kembali melalui gugatan PKPU.
Dengan kondisi tersebut, ia menyarankan agar kegiatan usaha koperasi bisa dikembangkan secara digital untuk memudahkan pengawasan. Kemudian pola pengawasan dibuat lebih intensif melalui pembentuk badan pengawasan khusus di bawah Kementerian Koperasi dan UKM.
“Kami juga menyarankan pembentukan lembaga penjaminan seperti LPS supaya koperasi bisa lebih bertahan lebih lama khususnya koperasi – koperasi yang sudah besar,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News