Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kontribusi perbankan nasional dalam pembiayaan infrastruktur di Indonesia masih jauh dari harapan. Kondisi ini tak lepas dari dua kendala utama yang dihadapi perbankan.
Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, likuiditas yang terbatas membuat kemampuan bank untuk menyalurkan pembiyaan ke infrastruktur tidak maksimal. Besarnya dana untuk pembiayaan infrastruktur tidak sesuai dengan pasokan likuiditas perbankan.
Budi bilang, secara umum infrastruktur utama yang harus dibangun antara lain jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, bandara, air, listrik, dan telekomunikasi. "Contohnya jika PLN hendak membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt, diperlukan biaya setidaknya Rp 910 triliun," katanyaa, Kamis (2/4).
Hingga akhir tahun lalu, total aset perbankan nasional mencapai Rp 4.100 triliun dan kredit yang disalurkan sebanyak Rp 3.700 triliun. "Jika seluruh perbankan nasional bergabung sekalipun, cukup berat untuk membangun proyek listrik 35.000 megawatt," ujar Budi.
Kendala lain adalah regulasi modal perbankan yang ketat. Regulator membatasi bank dalam memberikan kredit dengan jumlah sebesar maksimal 20% dari modal. "Misalkan Bank Mandiri modalnya Rp 100 triliun, maka Bank Mandiri cuma bisa memberikan kredit maksimal Rp 20 triliun bagi PLN untuk proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt. Itu masih kurang banyak hanya untuk 1 proyek infrastruktur," jelas Budi.
Budi mengakui, skala pembangunan infrastruktur Indonesia terlalu besar untuk dicover industri perbankan nasional. "Oleh sebab itu memang perlu inovasi lain untuk mencari jalan keluar dari persoalan keterbatasan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur," pungkas Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News