Reporter: Roy Franedya, Nurul Kolbi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kebijakan loan to value (LTV) terhadap kredit properti dan kendaraan berpotensi menurunkan penyaluran kedua jenis kredit tersebut. Maklum, bank tidak lagi leluasa memberikan uang muka rendah. Agar tidak menggangu pertumbuhan kredit, BI menyiapkan beberapa insentif agar bank bisa menggenjot kredit produktif.
Deputi Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Yunita R. Sari mengatakan, BI akan memberikan insentif jika kredit pemilikan rumah (KPR) turun signifikan dan berpotensi mempengaruhi kinerja kredit. Saat ini BI sedang mengkaji insentif tersebut. "Kami akan pantau terus penerapan aturan ini. Bila ada insentif, agar bank fokus menyalurkan kredit produktif," ujarnya, Rabu (2/5). Sayang, Yunita tidak bersedia menjelaskan batas signifikan penurunan kredit.
Menurut Yunita, kebijakan ini memang akan menekan pertumbuhan kredit properti dan kendaraan bermotor, tapi efeknya tidak berlangsung lama. Yang terjadi juga bukan pembatalan kredit, tetapi penundaan. Maklum, nasabah butuh tambahan waktu untuk mengumpulkan uang muka agar bisa memenuhi ketentuan. Estimasi BI, akan terjadi penundaan selama 7-8 bulan.
Berdasarkan pemantauan BI, saat ini sudah terjadi penurunan pertumbuhan KPR. Angkanya lumayan, tetapi masih sesuai proyeksi. Gambaran saja, September 2011, KPR tumbuh 43%, jauh di atas rata-rata pertumbuhan kredit saat itu yang hanya 25%. Nah, Februari 2012, KPR tumbuh 35% dan rata-rata kredit industri tumbuh 24%.
Meski penyaluran KPR berpeluang terkoreksi, kualitas kredit bakal semakin baik. Selain itu meringankan nasabah, karena beban angsuran menjadi lebih kecil.
Cara pemberian insentif kredit produktif ini akan mengikuti langkah otoritas perbankan negara lain, salah satunya Singapura. Asal tahu saja, untuk memperlambat kredit properti, regulator di Singapura menerapkan LTV hingga 60%. Kebijakan ini berdampak signifikan ke kredit.
Untuk menahan laju penurunan kredit, regulator mempermudah usaha kecil menengah (UKM) dalam memproses perizinan, akses ke pasar maupun pinjaman ke bank. Bauran kebijakan ini merangsang bank membiayai UKM.
BI juga menyiapkan skenario itu dan beberapa sudah jalan. Misalnya, menggandeng Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk sertifikasi lahan. Berbekal sertifikat ini, pemilik lahan bisa mengajukan kredit ke bank. Pilot project ini sudah berjalan di Jawa Timur.
Upaya lain, membolehkan bank menggunakan kapal nelayan sebagai agunan kredit. Tentu, bank tidak sendirian menanggung risiko ini. Asuransi ikut terlibat.
BI juga membuka peluang meninjau lagi kebijakan ini. Jika keadaan lebih baik atau penyaluran kredit turun drastis, bukan tidak mungkin aturan LTV dilonggarkan lagi. Pada batas mana BI menganggap pertumbuhan kredit properti sudah aman dari ancaman bubble, Yunita enggan menjawab.
Soal insentif, Direktur Mortgage and Consumer Banking BTN, Irman A. Zahiruddin, meminta keringanan aturan giro wajib minumum (GWM) terkait loan to deposit ratio (LDR). Bila kebijakan LTV sampai mengurangi permintaan kredit KPR, LDR BTN bisa turun drastis. Hal ini dapat meningkatkan beban karena membayar penalti GWM. Maklum, 87,5% kredit mengalir ke KPR.
Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja, sependapat. Menurutnya, insentif paling cocok adalah mengurangi penalti GWM dan pengurangan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) kredit produktif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News