Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi
Lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi juga menekan likuiditas Jiwasraya. Berdasarkan rincian aset investasi, perusahaan banyak melakukan investasi di aset berisiko tinggi untuk mengejar return tinggi.
Hal ini tidak dibarengi ketiadaan panduan untuk mengelola portofolio investasi yang mengatur nilai investasi maksimum pada investasi berisiko tinggi yang sesuai kondisi pasar saat ini. Di sisi lain mayoritas aset investasi tidak dapat dijualbelikan.
Penyebab lainnya, karena adanya rekayasa harga saham. Modusnya melalui melalui saham overprice yang dibeli oleh Jiwasraya, kemudian dijual pada harga negosiasi (di atas harga perolehan) kepada manajer investasi, untuk kemudian dibeli kembali oleh Jiwasraya.
Baca Juga: Tingkatkan kredit, OJK minta bank berfokus pada core business
“Hal ini dibuktikan dengan aset investasi Jiwasraya yang dominan pada saham yang underlyng asset-nya sama dengan portofolio saham langsung,” tambah penjelasan itu.
Terakhir, adanya tekanan likuiditas dari produk saving plan. Hal ini berakibat pada penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk saving plan yang menyebabkan penurunan penjualan. Selain itu, tidak ada backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban dan gagal bayar.
“Disebabkan oleh penurunan kepercayaan nasabah, lapse rate (claim) secara signifikan meningkat ke 51% dan terus meningkat hingga 85%. Hal tersebut menyebabkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya,” tulis penjelasan tersebut.