Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Asuransi Jiwasraya (Persero) membutuhkan dana sebesar Rp 32,89 triliun agar risk based capital (RBC) bisa memenuhi ketentuan minimal 120%. RBC merupakan pengukuran tingkat kesehatan keuangan suatu perusahaan asuransi, di mana OJK mengatur minimal batas RBC sebesar 120%.
Hal itu terungkap dalam salinan rapat kerja atau rapat dengar pendapat (RDP) yang dibacakan oleh Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan, Jakarta, hari ini.
Baca Juga: Butuh dana Rp 32,89 triliun, begini skema penyelamatan Jiwasraya
Merujuk data tersebut dana tersebut terhitung dari dua sumber yaitu total ekuitas setelah penurunan nilai aset (impairment) sebesar Rp 30,13 triliun dan kebutuhan pemenuhan RBC sebesar Rp 2,89 triliun.
Untuk posisi keuangan Jiwasraya Per September 2019 sendiri, tercatat total ekuitas perusahaan mencapai Rp 25,68 triliun, dan liabilitas Rp 49,60 triliun. Sayangnya jumlah ekuitas justru negatif Rp 23,92 triliun dan ada potensi penurunan nilai aset menjadi Rp 6,21 triliun.
Ekuitas merupakan hak yang dimiliki perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban. Ekuitas ini terdiri dari modal disetor, saham, laba ditahan, cadangan, laba dan modal lainnya. Ketika ditanya terkait kebutuhan pendanaan tersebut, Hexana Tri Sasongko belum memberikan respons kepada Kontan.co.id.
Asal tahu saja, likuiditas Jiwasraya tengah tertekan. Ada empat penyebab keuangan perusahaan terganggu. Pertama, adanya kesalahan pembentukan harga produk saving plan yang ditawarkan dengan jaminan return sebesar 9% hingga 13% sejak 2013 hingga 2018 dengan periode pencairan setiap tahun.
Baca Juga: Fintech lending buka peluang simpan dana lender di reksadana, ini kata OJK
“Dengan jaminan return yang ditawarkan dan saat ini lebih tinggi dari pertumbuhan IHSG serta yield obligasi serta dapat dicairkan setiap tahun, Jiwasraya tertekan risiko pasar,” jelas paparan tersebut.
Lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi juga menekan likuiditas Jiwasraya. Berdasarkan rincian aset investasi, perusahaan banyak melakukan investasi di aset berisiko tinggi untuk mengejar return tinggi.
Hal ini tidak dibarengi ketiadaan panduan untuk mengelola portofolio investasi yang mengatur nilai investasi maksimum pada investasi berisiko tinggi yang sesuai kondisi pasar saat ini. Di sisi lain mayoritas aset investasi tidak dapat dijualbelikan.
Penyebab lainnya, karena adanya rekayasa harga saham. Modusnya melalui melalui saham overprice yang dibeli oleh Jiwasraya, kemudian dijual pada harga negosiasi (di atas harga perolehan) kepada manajer investasi, untuk kemudian dibeli kembali oleh Jiwasraya.
Baca Juga: Tingkatkan kredit, OJK minta bank berfokus pada core business
“Hal ini dibuktikan dengan aset investasi Jiwasraya yang dominan pada saham yang underlyng asset-nya sama dengan portofolio saham langsung,” tambah penjelasan itu.
Terakhir, adanya tekanan likuiditas dari produk saving plan. Hal ini berakibat pada penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk saving plan yang menyebabkan penurunan penjualan. Selain itu, tidak ada backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban dan gagal bayar.
“Disebabkan oleh penurunan kepercayaan nasabah, lapse rate (claim) secara signifikan meningkat ke 51% dan terus meningkat hingga 85%. Hal tersebut menyebabkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya,” tulis penjelasan tersebut.
Anggota Komisi XI DPR Rudi Hartono Bangun mengatakan bahwa perlu kajian panjang untuk menyehatkan kembali Jiwasraya. Apalagi, permasalahan Jiwasraya diduga disebabkan oleh direksi lama yang memanipulasi pembelian saham.
“Mereka membeli saham bermasalah, jadi jeblok. Jadi harga saham jadi hancur dan murah ketika dibeli kembali. Akhirnya ada indikasi pencucian uang dari direksi lama,” kata Rudi.
Baca Juga: Genjot penyaluran pembiayaan, BRIsyariah jalin kerjasama dengan koperasi dan UMKM
Maka itu, ia mengusulkan adanya Panitia Kerja (Panja) Jiwasraya yang menghadirkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas lembaga keuangan. Juga menghadirkan kepolisian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa aturan keuangan terhadap risiko investasi yang diambil Jiwasraya.
“Direksi lama harus bertanggung jawab karena itu uang nasabah yang menjerit-jerit (pengembalian dananya). Nasabahnya, sampai ngesot-ngesot ke kantor Jiwasraya bagaimana klaim mereka bisa kembali,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News