Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konglomerat yang jadi bandar bank kecil bertambah. Setelah pengusaha Chairul Tanjung sukses mencaplok PT Bank Harda Indonesia Tbk yang kini sudah berganti nama menjadi Allo Bank Indonesia, Emtek Group datang dengan kabar akan mencaplok 93% saham PT Bank Fama Internasional senilai US$ 908,9 miliar.
Bank kecil yang pemiliknya tidak sanggup menambah modal mau tak mau harus mencari investor baru. Pasalnya, regulator sudah menetapkan modal inti minimum bank umum Rp 3 triliun pada akhir 2022 dan wajib sudah dipenuhi Rp 2 triliun di penghujung tahun ini.
Dalam rancangan akuisisi itu, ada nama PT Nusantara Berkat Agung (NBA) yang ikut mengakuisisi 7% saham Bank Fama. Akuisisi Ini ditargetkan akan rampung pada 28 Desember 2021.
Setelah rampung, Emtek juga harus melakukan injeksi modal lagi mengingat modal inti Bank Fama per Juni 2021 baru Rp 1,02 triliun. Artinya, calon bank Emtek masih butuh tambahan modal sekitar Rp 1 triliun lagi hingga akhir 2021.
Baca Juga: Investor baru dari bank-bank cilik mulai bermunculan
KONTAN mencoba menghubungi Sekretaris Perusahaan Emtek dan Bank Fama terkait pemenuhan modal inti tersebut apakah akan lewat injeksi langsung atau lewat opsi Initial Public Offering (IPO). Namun, belum hingga berita ini diturunkan, belum ada jawaban dari keduanya.
Emtek juga belum memberi penjelasan bagaimana konsep pengembangan Bank Fama ke depan, apakah akan jadi bank fully digital atau mengusung konsep kombinasi digital dan konvensional.
Hanya saja dalam prospektus akuisisi yang diterbitkan Jumat (5/11), Emtek Group lewat anak usahanya PT Elang Media Visitama (EMV) menyebut akuisisi itu sejalan dengan bisnis jangka panjang perusahaan, termasuk untuk meningkatkan literasi keuangan dan akses perbankan ke sektor UMKM.
Seperti diketahui, Emtek Group juga merupakan pemegang saham Grab Indonesia dan Bukalapak. Sehingga pengembangan calon Bank Emtek itu nantinya akan memiliki ekosistem digital yang luas dengan jaringan perusahaan teknologi dan e-commerce.
Allo Bank akan kembali melakukan rights issue pada Desember mendatang guna memenuhi aturan modal inti. Perseroan akan menebitkan saham baru Rp 10 miliar atau 46,24% dari modal ditempatkan dan disetor penuh. Harganya telah ditetapkan Rp 478 per lembar.
CT Group selaku pemegang saham utama bank ini dengan kepemilikan 90% telah menyatakan hanya akan mengeksekusi 2,71 miliar saham atau sekitar 30% dari seluruh HMETD. Selebihnya akan dialihkan ke beberapa investor strategis. Sehingga pasca rights issue nanti, kepemilikan CT akan berkurang menjadi 60,8%.
CT akan mengembangkan Allo Bank menjadi Fully digital untuk melengkapi bisnis bank yang dimiliki konglomerat ini. Selain Allo, CT Group juga sudah memiliki Bank Mega dan menjadi pemegang saham di sejumlah BPD.
Sebelumnya, ada sejumlah konglomerat yang sudah jadi juragan bank kecil dan akan mentransformasikan banknya ke arah digital. Salim Grup misalnya punya PT Bank Ina Perdana Tbk, Hary Tanoe memiliki PT Bank MNC Internasional Tbk, Lippo Group sudah punya PT Bank NationalNobu Tbk. Sedangkan konglomerat asing telah menguasai Seabank Indonesia.
Daniel Budirahayu, Direktur Utama Bank Ina mengatakan, untuk sementara bank akan tetap beroperasi hybrid yakni kombinasi dari konvensional dan unit digital.
"Namun, jangka panjang kemungkinan bisa jadi (bank fully digital)," ujarnya, Selasa (8/11).
Saat ini, Bank Ina sedang tahap finalisasi persiapan pengembangan aplikasi digital. Untuk menghadirkan layanan digital, perseroan telah menggandeng Mambu, platform SaaS cloud banking, dan beberapa solusi internasional lainnya untuk bisa menyediakan layanan digital yang terbaik.
Baca Juga: Ikatan cinta Emtek - Grup Salim di bisnis keuangan dan teknologi, akankah terjadi?
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan melihat maraknya konglomerat mencaplok bank kecil karena mereka punya modal dan prospek bisnis bank masih menarik.
Dengan kondisi banyak bank kecil yang mesti menambah modal, konglomerat melihat adanya peluang dengan mencari bank yang tergolong murah untuk kemudian dikemas menjadi bank digital.
Menurut Trioksa, prospek bank-bank konglomerat ini ke depan akan tergantung pada fundamental dan keseriusan pemilik sahamnya dalam membesarkan bank tersebut untuk jangka panjang.
"Kalau hanya mengemas secara digital untuk tujuan dijual kembali, menurut saya perkembangan bisnis bank itu tidak akan maksimal. Keseriusan investor ini harus jadi perhatian karena pasti sudah ada track recordnya. Jangan sampai hanya masuk sebentar, lalu dijual. Misalnya seperti Lippo Group dulu punya Bank Lippo kemudian dilepas," jelasnya.
Selanjutnya: Satu per satu juragan baru dari bank kecil mulai tunjukkan diri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News