Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) pada segmen kredit korporasi perbankan masih terjaga hingga semester I-2023. Bahkan beberapa bank telah berhasil menekan rasio kredit macetnya di segmen korporasi. Walau demikian, penyaluran kredit pada segmen korporasi tercatat melesu di pertengahan tahun ini.
Contohnya, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN). NPL pada segmen kredit korporasi bank spesialis perumahan ini sudah melandai ke 0,61% per Juni 2023. Sementara di periode yang sama tahun lalu masih tercatat 0,75%.
Sementara pertumbuhan kredit korporasi BTN mencapai 19,21% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp 7,1 triliun pada Juni 2023. Padahal, pada periode yang sama 2022, kredit korporasi BTN mampu tumbuh 29,67%.
Kredit macet pada segmen korporasi PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga melandai ke 1,2% pada Juni 2023 dari 2,4% di Juni 2022.
Baca Juga: Semakin Melesat, Pefindo Menaikkan Rating Bank Jateng menjadi idAA-
Sementara pertumbuhan kredit korporasi BNI mencapai 6% yoy menjadi Rp 20,3 triliun pada Juni 2023. Padahal, pada periode yang sama 2022, kredit korporasi BTN mampu tumbuh 9,1%.
Adapun kredit macet pada sektor korporasi PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) tercatat stabil di 0,17% pada Juni 2023 sama seperti perolehan di periode sama tahun sebelumnya.
Adapun penyaluran kredit korporasi BMRI tercatat sebesar Rp 432,9 triliun pada semester I-2023, naik 5,99% yoy. Namun, terlihat melambat jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya 10,6% yoy.
Sementara kredit macet pada segmen korporasi di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) masih terlihat tinggi kendati sudah melandai secara yoy mencapai 4,83% pada Juni 2023 dari 5,25% pada Juni 2022.
Baca Juga: Pembiayaan Fintech Lending Semakin Kencang
Adapun penyaluran kredit korporasi BRI tumbuh 1% yoy menjadi Rp 186,6 triliun pada Juni 2023. Padahal pada periode yang sama di tahun 2022, kredit korporasi BRI mampu tumbuh 6,1%.
Krdit macet pada segmen korporasi PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) berkontribusi sebesar 43,0% terhadap total NPL perseroan per Juni 2023, menurun dari posisi Juni 2022 yang tercatat di 47,8%.
EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F Haryn mengatakan, penurunan NPL BCA utamanya didorong oleh pemulihan arus kas debitur seiring dengan perbaikan aktivitas perekonomian, serta BCA yang terus menerapkan disiplin manajemen risiko dalam penyaluran kredit.
"Per Juni 2023, sektor yang mencatatkan NPL terbesar adalah sektor manufaktur. Namun, BCA senantiasa memastikan kecukupan pencadangan kredit di setiap sektor. Sebagai informasi, pencadangan NPL tercatat memadai sebesar 257%, salah satu yang tertinggi di industri perbankan," ungkap Hera kepada kontan.co.id, Senin (4/9).
Di samping faktor utama pemulihan arus kas debitur, penurunan NPL juga disebut Hera didukung oleh penghapusbukuan kredit yang merupakan salah satu strategi industri perbankan dalam mencapai target NPL, tak terkecuali BCA. Penghapusbukuan dilakukan secara selektif, dan dilakukan terhadap fasilitas sudah lama bermasalah (macet) namun belum berhasil dilakukan penagihan sepenuhnya.
"Ditopang oleh prospek pertumbuhan ekonomi yang positif dan likuiditas yang solid, BCA tetap optimistis dalam penyaluran kredit dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian, sehingga kualitas pinjaman tetap terjaga. BCA juga secara berkala melakukan monitoring terhadap kualitas kredit di setiap segmen," imbuhnya.
Sementara, kredit korporasi BCA tumbuh 5,1% yoy menjadi Rp 326,0 triliun pada semester I-2023. Pertumbuhan kredit korporasi di BCA ini lesu dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tumbuh hingga 19,1%.
Baca Juga: Bank Himbara Masih Menunggu Aturan Hapus Buku Kredit UMKM
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja pun membenarkan hal tersebut, ia bilang kalau kredit korporasi memang terlihat kurang baik dibanding tahun sebelumnya. Beberapa alasan yang menyebabkan melesunya penyaluran kredit pada segmen korporasi menurut Jahja, salah satunya karena faktor persiapan tahun politik atau pemilu yang menyebabkan pengusaha wait and see.
"Selain itu, kalau tahun lalu proyek infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, juga power plant cukup besar, bukan hanya swasta tapi juga BUMN. Sementara di tahun ini hingga Juni, sektor itu kurang berkembang," katanya.
Pengamat Pasar Modal Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy menilai, perlambatan pada penyaluran kredit korporasi disebabkan oleh tingkat bunga yang tinggi dan pengusaha masih wait & see menunggu hasil pemilu 2024.
"Exportir di luar komoditi sedang mengalami tantangan demand dari market export dan limpahan oversupply produk dari China sehingga produsen domestik kalah bersaing," ujar Budi.
Menurutnya, kredit korporasi yang menunjang saat ini yakni pada sektor otomotif dan properti dengan segala value chain-nya (suku cadang), pertambangan, dan perkebunan.
Baca Juga: Ekonomi China Lesu, Laba Perbankan Layu
"Dalam upaya meningkatkan kredit korporasi spread atau NIM bank harus dipangkas sehingga suku bunga turun. Ini akan mendorong stabilitas politik dan keamanan menjelang pemilu," kata Budi.
Adapun Pengamat Perbankan, SVP, Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan, penyebab perlambatan penyaluran kredit korporasi yakni lebih kepada rentetan dampak dari pandemi yang membuat perusahaan masih menahan ekspansi, inflasi dan tren kenaikan suku bunga yang juga membuat perlambatan penyaluran kredit korporasi.
"Hingga akhir tahun juga diproyeksikan masih tetap melambat dan kenaikan lebih banyak ditopang dari sektor infrastruktur," ungkap Trioksa.
Dalam meningkatkan kredit korporasi, kata Trioksa perbankan bisa melakukan penurunan suku bunga dan perbanyak investasi serta belanja infrastruktur.
Sebagai catatan, Berdasarkan Survei Penawaran dan Permintaan Pembiayaan Perbankan pada Juli 2023 yang dirilis BI, kebutuhan pembiayaan korporasi terindikasi tetap tumbuh positif meski tidak setinggi bulan sebelumnya.
Hal tersebut tecermin dari saldo bersih tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi sebesar 17,6% melambat jika dibandingkan pada Juni 2023 sebesar 17,8%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News