Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan fintech peer to peer lending ilegal masih gentayangan. Satgas Waspada Investasi (SWI) kembali menemukan 151 financial technology (fintech) peer to peer lending dan 4 entitas tanpa izin alias ilegal.
Menindaklanjuti temuan itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan penindakan penutupan akses terhadap fintech dan entitas penawaran investasi tanpa izin itu.
Temuan tersebut menambah daftar fintech yang diblokir oleh SWI sejak terbentuk tahun 2018. Hingga Agustus 2021 ini, SWI sudah menutup lebih dari 3.515 fintech lending ilegal.
Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan pun bilang bahwa selama ini pemerintah telah banyak melakukan hal untuk memberantas fintech lending ilegal. Adapun yang telah dilakukan mulai dari pemblokiran hingga upaya penegakan hukum.
Hanya saja, Semuel pun berpendapat bahwa sejatinya kunci utama yang paling efektif untuk bisa memberantas fintech lending ilegal ialah dengan meningkatkan literasi kepada masyarakat tentang fintech lending ilegal.
"Hal yang menjadi kunci utama dan paling efektif untuk bisa memberantas fintech lending ilegal ialah dengan literasi kepada masyarakat agar pasar dari para pelaku fintech lending ilegal akan hilang dengan sendirinya,” jelas Semuel dikutip dari keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Selasa (12/10).
Baca Juga: Simak daftar lengkap fintech P2P lending yang terdaftar dan berizin dari OJK
Ketua SWI Tongam L. Tobing pun mengapresiasi upaya Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dalam rangka memberantas fintech peer-to-peer lending ilegal melalui penutupan akses.
Dia juga melihat perkembangan kegiatan fintech lending ilegal sangat meresahkan karena di tengah pandemi Covid-19 masih ada penawaran pinjaman tanpa izin. Terlebih, para pelaku ini memanfaatkan kesulitan finansial masyarakat saat pandemi.
Menurut Tongam, ada beberapa modus yang digunakan fintech dan entitas tanpa izin untuk menjerat masyarakat. Ia bilang bahwa mereka menyasar masyarakat yang saat ini butuh uang untuk memenuhi kebutuhan pokok atau konsumtif di situasi sekarang.
"Mereka memberikan syarat mudah mendapatkan pinjaman, tetapi mereka selalu meminta izin untuk dapat mengakses semua data kontak di handphone pengguna aplikasi. Ini sangat berbahaya, karena data ini bisa disebarkan dan digunakan untuk alat mengintimidasi saat penagihan," pungkas dia.
Selanjutnya: Bagaimana prospek saham Bank Central Asia (BBCA) pasca stock split? Ini kata analis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News