Reporter: Agung Jatmiko, Dikky Setiawan, Roy Franedya | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kemajuan teknologi seakan tak memiliki batas. Saban tahun, teknologi terus berkembang pesat di berbagai aspek kehidupan kita. Kekuatan teknologi mampu merambah banyak sektor. Salah satunya sektor industri jasa keuangan. Berkat kehadiran teknologi, berbagai layanan finansial kian mengandalkan platform digital.
Sayangnya, kemajuan teknologi nyatanya tidak serta merta membuat peran perbankan di sektor jasa keuangan optimal. Paling tidak, masih ada keterbatasan akses masyarakat terhadap perbankan. Hal ini, terutama keterbatasan akses kredit perbankan kepada masyarakat.
Adanya "lubang" tersebut, menjadi celah bagi sejumlah pelaku usaha untuk menjembatani. Caranya, mendirikan perusahaan rintisan (startup) sektor jasa keuangan berbasis digital. Dan, perusahaan startup ini lebih kesohor disebut financial technology alias fintech.
Hingga di pengujung tahun 2016 lalu, ada sekitar 150 pemain startup fintech. Dari jumlah itu, hampir separuhnya beradu peruntungan di sektor pembayaran dan peer-to-peer lending (pinjaman). Ke depan, jumlah pemain fintech diperkirakan masih akan terus tumbuh.
Bank Indonesia memproyeksi, nilai transaksi fintech di negeri ini bakal mencapai US$ 1,9 miliar atau setara lebih dari Rp 25,2 triliun di 2017. Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) memperkirakan, pada tahun 2018, investasi di bidang fintech menembus angka US$ 8 miliar atau sekitar Rp 105,6 triliun.
Meski potensi bisnisnya terbilang besar, jangan harap Anda bisa langsung meraup sukses di bisnis fintech. Untuk itu, ada sejumlah hal yang perlu Anda perhatikan dalam mengembangkan bisnis fintech.
Adrian Asharyanto Gunadi, co-founder dan chairman Investree mengatakan, ada beberapa poin penting bagi pelaku usaha yang ingin mendirikan perusahaan rintisan fintech.
Pertama, menyiapkan rencana bisnis (business plan) dengan matang. Hal ini penting untuk menentukan tujuan bisnis perusahaan.
Kedua, menentukan fokus produk. Adrian berpendapat, bisnis fintech memiliki cakupan luas. Karena itu, sang pendiri harus bisa mencari jenis fintech dengan potensi pertumbuhan yang menarik untuk digeluti.
Ketiga, memiliki tim yang kuat. Ini menjadi salah satu syarat utama untuk menentukan keberhasilan pemasaran layanan yang disediakan perusahaan fintech tersebut.
Keempat, bisa mengelola risk management. Pendiri fintech dituntut untuk mampu memahami aspek-aspek manajemen risiko bisnisnya. "Jadi, bisnis fintech lebih menjembatani akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan agar memberikan nilai tambah," kata Adrian kepada Tabloid KONTAN, Selasa (18/4) pekan lalu.
Fokus target pasar
Niki Luhur, Ketua Asosiasi Fintech Indonesia menambahkan, dalam mendirikan fintech, paling utama adalah tidak memfokuskan kepada besaran keuntungan yang bisa diraup dari bisnis ini.
Yang paling penting adalah merancang segmen konsumen yang akan dibidik. "Harus fokus di satu pasar sampai pengertian tentang konsep yang diusung dicerna dengan baik. Jangan bangun produk tanpa memahami dengan betul target pasarnya," ujarnya.
Dengan mengonsep bisnis fintech secara matang, kesan mengadopsi atau menjiplak model bisnis fintech luar negeri bisa dihindari. Selain itu, jangan membangun bisnis fintech di bidang yang tidak tidak dimengerti oleh pendirinya.
"Itu fatal akibatnya. Harus memulai dari insight pribadi terlebih dahulu, entah pengalaman sebagai user suatu layanan atau memang memiliki pengetahuan di suatu bidang tertentu," imbuh Niki.
Lalu, bagaimana dengan permodalan? Soal yang satu ini, menurut Niki, bukan jadi faktor kunci. Pasalnya, tidak semua investor atau pemodal mau mengucurkan modal gede untuk mendirikan usaha. Modal fintech bisa berangkat dari konsep yang bagus, meskipun hanya didukung dana cekak.
"Investor tidak bisa memberikan modal selangit di awal. Selanjutnya, sang pendiri fintech dan timnya harus membuktikan diri bahwa konsepnya bisa diimplementasikan dan memberikan hasil atau omzet," beber Niki.
Memang, sambung Niki, bisa saja investor menanamkan modal yang cukup besar. Ini terjadi jika pendiri yang menawarkan konsep fintech itu merupakan orang yang telah memiliki track record mengkilap. Sebab, kata dia, acap kali investor terlebih dahulu melihat profil pendiri.
Antonius Taufan, founder TADA Network, membenarkan pendapat Niki. Dia bilang, mendirikan fintech perlu perencanaan matang, terutama dari segi konsep. Itu sebabnya, dia menyarankan, bagi yang hendak membangun fintech jeli melihat permasalahan di sekitarnya.
Pasalnya, perusahaan fintech yang baik bisa menjawab permasalahan orang banyak dan bukan sekadar mendirikan usahanya. Dengan menawarkan solusi, niscaya orang atau konsumen akan percaya dan akhirnya tertarik menggunakan jasa fintech tersebut.
“Fintech yang mampu menjawab permasalahan orang banyak akan mampu berdiri lama dalam menjalankan bisnisnya,” ujar Antonius.
Meski bukan pionir, sebuah fintech rintisan tetap bisa mendulang sukses. Asalkan, tim pengelolanya melakukan kerja keras dalam mengedukasi konsumen terhadap layanan dan produk yang ditawarakan.
Ketika usaha fintech sudah berjalan, perusahaan harus memberikan penghargaan kepada konsumen. Ambil contoh, memberikan reward point yang biasanya dapat ditukar dengan produk gratis dari fintech yang bersangkutan.
“Jadi konsumen tak perlu mengumpulkan poin banyak untuk bisa memanfaatkan layanan atau produk secara gratis. Dengan poin sedikit pun, mereka bisa merasakan manfaatnya,” kata Antonius.
Anda siap memulai?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News