Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Euforia bank digital di Tanah Air belum berakhir. Saat ini bank ramai-ramai mengklaim diri sebagai bank digital yang akhirnya mendorong harga sahamnya naik tajam.
OJK memang tidak memberi label khusus kepada bank sebagai bank digital. Hanya ada dua jenis bank yang berlaku saat ini yakni bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Istilah bank digital tidak merubah bank secara kelembagaan. Bank tetaplah bank, apapun model bisnisnya.
Namun, secara prinsip bank digital hanya didefinisikan sebagai bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha yang utamanya melalui saluran elektronik dengan kantor fisik yang terbatas atau tanpa kantor fisik selain kantor pusat.
Untuk melihat prospek fundamental bank digital di Indonesia, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda membagi bank digital menjadi dua jenis yakni bank digital yang lahir murni dari perbankan dan bank digital dari campur tangan perusahaan teknologi.
Baca Juga: Simpanan nasabah pada Juli stabil, LPS: Dunia usaha tengah bersiap kembali ekspansi
Bank digital yang lahir dari perbankan murni seperti BCA Digital, BRI Agro, Jenius, Digibank dan lain-lain mempunyai modal perbankan yang cukup kuat, terutama yang dimiliki oleh bank besar.
Sedangkan bank digital yang lahir dari campur tangan perusahaan digital seperti Bank Jago, Line Bank, Sea Bank dan lain-lain mempunyai ekosistem digital lebih komplit. Mereka punya layanan digital lainnya untuk menunjang kegiatan bank digital.
"Ekosistem digital yang menunjang operasional bank digital merupakan kunci utama bagi perkembangan bank digital. Maka saya rasa potensi bank digital yang lahir dari campur tangan perusahaan digital mempunyai peluang tumbuh tinggi. Mereka punya ekosistem yang lebih dapat menunjang seperti e-commerce, ride-hailing, pesan antar makanan, hingga aplikasi percakapan yang bisa menunjang bank digital," jelas Huda pada KONTAN, Kamis (2/8).
Menurut Wakil Ketua Perbanas Ahmad Siddik Badruddin, banyak tantangan yang akan dihadapi bank digital di Tanah Air agar bisa menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan ke depan. Apalagi berkaca dari pengalaman yang terjadi secara global, tidak banyak bank digital yang sukses.
Berdasarkan riset The Boston Consulting Group (BCG), dari 249 bank digital yang ada di seluruh dunia, hanya 13 yang profitable. Di Korea Selatan misalnya, hanya ada dari tiga bank digital beroperasi yang sudah untung yakni KakaoBank. Di China, dari 16 bank digital, hanya ada empat yang untung, salah satunya WeBank. Di Jepang ada Rakunten Bank.
Baca Juga: Kemensos dan BSI percepat penyaluran bansos di Aceh
Sementara Jahja Setiaatmadja President Direktur BCA menjelaskan, ada lima syarat minimum yang harus dipenuhi bank digital agar bisa bertahan da yang beroperasi sebagai bank digital. Pertama, harus memiliki jumlah nasabah yang besar.
Kedua, harus menggandeng ekosistem yang ada dan mempunyai jaringan merchant yang besar. Jahja menambahkan, sinergi membentuk ekosistem yang luas sangat diperlukan. Bank digital tidak hanya sebatas menjaring pembukaan rekening saja tetapi rekening tersebut harus menghasilkan transaksi. "Jadi jangan bangga hanya dengan jumlah rekening saja," ujarnya dalam paparan virtual baru-baru ini.
Ketiga, memiliki produk yang user friendly. Keempat, membutuhkan SDM programmer dan data analis yang handal. Menurut Jahja, di persyaratan inilah mulai muncul rambu-rambu yang berat. Programmer dan analis data yang hebat tidak hanya dibutuhkan oleh bank digital saja, tetapi juga oleh bank tradisional, fintech domestik maupun fintech asing. Menyediakan SDM yang mapan sehingga bisa menciptakan produk yang bagus menjadi tantangan berat.
Kelima, diperlukan modal. Jahja bilang, di awal bisnis, bank digital tidak akan sanggup langsung menjalankan digital lending karena data belum terbentuk. Bank digital dalam menjalankan operasinya direncanakan mengandalkan artificial intelligence atau kecerdasan buatan sebagai mesin learning. Untuk melakukan ini diperlukan pengalaman dan tidak bisa serta merta masuk secara nekad.
Sehingga untuk bisa untuk di awal, lanjut Jahja, diperlukan modal yang besar untuk di tanam di SBN atau kredit korporasi. "Bank Digital ini harus nebeng sementara. Ini namanya transformasi. Makanya jangan heran kalau nanti digital lending nasabahnya bukan semuanya mikro, akan ada korporasi. Kalau tidak begitu tidak akan bisa hidup," jelas Jahja.
Jahja menambahkan, bank-bank digital yang dimiliki oleh bank tradisional memiliki keuntungan. Pertama, mereka tidak perlu investasi call center sendiri. Sedangkan investasi call center itu besar. Bank digital lain mungkin akan mengakalinya dengan menggunakan outsourcing per transaksi. Semakin banyak transaksi maka biayanya akan semakin mahal.
Kedua, diuntungkan dari jaringan ATM induknya. Menurut Jahja, transaksi tunai tidak akan bisa dihilangkan di Indonesia atau sepenuhnya cashless. Dengan jaringan ATM yang tersedia, nasabah bank digital milik bank konvensional itu tetap bisa bertransaksi tanpa biaya di ATM induknya.
Sementara itu, OJK mencermati ada unsur gimmick marketing yang dilakukan bank-bank yang mengklaim diri sebagai bank digital tersebut. Terjadi pembohongan publik karena belum sepenuhnya menerapkan digital banking secara lengkap tetapi sudah mengklaim sebagai bank digital.
Baca Juga: OCBC NISP bidik penyaluran KPR ke pengguna aplikasi Prospeku
Untuk mengantisipasi embel-embel bank digital hanya dijadikan sebagai gimmick marketing perbankan untuk mengerek harga saham, OJK akan membuat digital maturity model yakni model asesmen atau penilaian kadar digitalisasi perbankan.
"OJK mencermati ada unsur gimmick dan suatu saat masuk ke kami bahwa bank itu melakukan pembohongan publik, hanya mengklaim bank digital yang membuat harga saham naik. Maka kami mengembangkan asesmen bagaimana kami menilai kadar digitalisasi," ungkap Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan OJK Anung Herlianto dalam paparan virtual, Senin (30/8).
Anung menjelaskan, digital maturity model tersebut akan menilai lima aspek yakni strategi digital, organisasi dan budaya, teknologi, operasional, dan costumer. Dari sisi strategi misalnya, OJK akan menilai manajemen strategi bank, keuangan dan investasi, digital branding, ekosistem digital, digital market intelligence dan portofolio inovasi.
Dari sisi organisasi dan budaya, akan dinilai mengenai budaya, kepemimpinan, governance, disain organisasi, talent dan workforce enablement. Dari sisi IT akan dinilai governance IT, arsitektur teknologinya, pengembangan teknologi dan aplikasi, manajemen data, jaringan dan security.
Dari aspek operasi akan dinilai manajemen integrasi layanan, agile change amangement, smart process management, governance automation, automated resources management dan lain-lain. Sedangkan dari aspek costumer akan dinilai costumer enggagement, pengalaman nasabah, kepercayaan dan persepsi nasabah.
Selanjutnya: Gagal dapat PMN tahun depan, IFG cari utang bank Rp 2 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News