Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
Sehingga untuk bisa untuk di awal, lanjut Jahja, diperlukan modal yang besar untuk di tanam di SBN atau kredit korporasi. "Bank Digital ini harus nebeng sementara. Ini namanya transformasi. Makanya jangan heran kalau nanti digital lending nasabahnya bukan semuanya mikro, akan ada korporasi. Kalau tidak begitu tidak akan bisa hidup," jelas Jahja.
Jahja menambahkan, bank-bank digital yang dimiliki oleh bank tradisional memiliki keuntungan. Pertama, mereka tidak perlu investasi call center sendiri. Sedangkan investasi call center itu besar. Bank digital lain mungkin akan mengakalinya dengan menggunakan outsourcing per transaksi. Semakin banyak transaksi maka biayanya akan semakin mahal.
Kedua, diuntungkan dari jaringan ATM induknya. Menurut Jahja, transaksi tunai tidak akan bisa dihilangkan di Indonesia atau sepenuhnya cashless. Dengan jaringan ATM yang tersedia, nasabah bank digital milik bank konvensional itu tetap bisa bertransaksi tanpa biaya di ATM induknya.
Sementara itu, OJK mencermati ada unsur gimmick marketing yang dilakukan bank-bank yang mengklaim diri sebagai bank digital tersebut. Terjadi pembohongan publik karena belum sepenuhnya menerapkan digital banking secara lengkap tetapi sudah mengklaim sebagai bank digital.
Baca Juga: OCBC NISP bidik penyaluran KPR ke pengguna aplikasi Prospeku
Untuk mengantisipasi embel-embel bank digital hanya dijadikan sebagai gimmick marketing perbankan untuk mengerek harga saham, OJK akan membuat digital maturity model yakni model asesmen atau penilaian kadar digitalisasi perbankan.
"OJK mencermati ada unsur gimmick dan suatu saat masuk ke kami bahwa bank itu melakukan pembohongan publik, hanya mengklaim bank digital yang membuat harga saham naik. Maka kami mengembangkan asesmen bagaimana kami menilai kadar digitalisasi," ungkap Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan OJK Anung Herlianto dalam paparan virtual, Senin (30/8).
Anung menjelaskan, digital maturity model tersebut akan menilai lima aspek yakni strategi digital, organisasi dan budaya, teknologi, operasional, dan costumer. Dari sisi strategi misalnya, OJK akan menilai manajemen strategi bank, keuangan dan investasi, digital branding, ekosistem digital, digital market intelligence dan portofolio inovasi.
Dari sisi organisasi dan budaya, akan dinilai mengenai budaya, kepemimpinan, governance, disain organisasi, talent dan workforce enablement. Dari sisi IT akan dinilai governance IT, arsitektur teknologinya, pengembangan teknologi dan aplikasi, manajemen data, jaringan dan security.
Dari aspek operasi akan dinilai manajemen integrasi layanan, agile change amangement, smart process management, governance automation, automated resources management dan lain-lain. Sedangkan dari aspek costumer akan dinilai costumer enggagement, pengalaman nasabah, kepercayaan dan persepsi nasabah.
Selanjutnya: Gagal dapat PMN tahun depan, IFG cari utang bank Rp 2 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News