Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat risiko kredit perbankan semakin tinggi. Meski begitu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan keringanan bagi debitur yang terdampak Covid-19 lewat program restrukturisasi kredit.
Namun tetap saja, di tengah kondisi yang serba tidak pasti tren peningkatan non performing loan (NPL) terus berlanjut. OJK mencatat pada akhir 2020 NPL perbankan ada di level 3,06%. Kendati masih rendah, posisi tersebut meningkat dari periode setahun sebelumnya yang ada di level 2,53%.
Merujuk pada Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Desember 2020 beberapa sektor besar pun mengalami peningkatan. Misalnya, pada industri pengolahan atau manufaktur, NPL naik ke angka 4,57% di akhir 2020. Meningkat dari periode akhir 2019 yang masih terjaga di kisaran 3,77%.
Baca Juga: OJK cabut izin usaha BPR Sewu Bali
Kemudian, sektor seperti pertambangan dan penggalian juga masih punya NPL tinggi di level 7,26% meningkat drastis dari setahun sebelumnya 3,57%. Sedangkan NPL di sektor dengan jumlah kredit terbesar yakni perdagangan ada di level 4,43%. NPL di sektor perdagangan juga naik dari posisi tahun 2019 sebesar 3,45%.
Meski begitu, sejumlah bank yang dihubungi Kontan.co.id mengatakan sampai saat ini sebenarnya NPL masih dapat terjaga stabil. Kendati dihantam peningkatan risiko akibat pandemi.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) misalnya pada Desember 2020 masih mencatatkan rasio NPL terjaga pada level 1,8%. Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim bilang, sektor perdagangan, restoran dan hotel punya NPL paling tinggi sebesar 3,8%. Sementara sektor manufaktur masih terjaga rendah di level 1,8% dan transportasi sebesar 0,9%.
Dia pun menambahkan, perbankan termasuk BCA sudah mengantisipasi kenaikan risiko kredit. Salah satu bentuk upayanya antara lain lewat peningkatan biaya pencadangan. "BCA sudah membukukan biaya pencadangan sebesar Rp 11,6 triliun pada sepanjang tahun 2020," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Rabu (3/3).
Baca Juga: Bank Syariah Indonesia temui CEO Dubai Islamic Bank untuk jalin kerja sama
Ke depan, BCA menilai tantangan NPL masih terus ada. Dus, pihaknya bakal secara konsisten berupaya menjaga NPL berada di level aman.
Begitu juga dengan bank menengah seperti PT Bank Woori Saudara Tbk (BWS) yang mengatakan tren peningkatan NPL masih bisa ditekan. Adapun, Direktur BWS Sadhana Priatmadja menjelaskan saat ini NPL paling tinggi ada di sektor konstruksi dan perdagangan besar.
Sayangnya, perseroan belum dapat merinci secara detail besaran NPL di masing-masing sektor. "NPL paling tinggi konstruksi dan perdagangan besar. Tapi keduanya masih rendah," ungkap Sadhana.
Adapun, pada akhir tahun 2020 lalu posisi NPL bank bersandi bursa SDRA ini ada di level 1,12%. Tahun ini, kecenderungannya NPL akan turun. Namun, perseroan memasang target konservatif dengan mematok NPL terjaga di level setara dari pencapaian tahun lalu.
Baca Juga: Bank Victoria akan mulai ekspansi digital di tahun 2021
Sementara itu, PT BPD Sumatera Utara (Bank Sumut) mengatakan NPL perseroan per Desember 2020 ada di level 3,54%. Posisi itu menurut Sekretaris Perusahaan Bank Sumut Syahdan Siregar malah membaik dibandingkan angka di tahun 2019 sebesar 4,36%.
Senada dengan bank sebelumnya, Bank Sumut juga optimis tahun ini NPL akan melandai. "Strategi Bank Sumut ke depannya adalah dengan mengutamakan pemberian kredit kepada debitur eksisting dan menyalurkan kredit program pemerintah terutama dana PEN (pemulihan ekonomi nasional)," terangnya.
Tak hanya mengandalkan dana PEN, perseroan juga terus memperluas pangsa kredit terutama dengan mendorong kredit multiguna dan kredit pensiun.
Selanjutnya: Pada awal tahun, BRI salurkan KUR senilai Rp 11,36 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News